Senin 14 Oct 2019 13:03 WIB

Meneropong Kabinet Jokowi 2.0

Seperti apa menteri yang dipilih Jokowi, profesional atau dari partai politik.

Jokowi dan Ma'ruf di Situbondo. Calon Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Calon Wakil Presiden Ma'ruf Amin (kanan) nomor urut 1 menyapa awak media saat datang di Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (27/6).
Foto: Fakhri Hermansyah
Jokowi dan Ma'ruf di Situbondo. Calon Presiden Joko Widodo (kiri) bersama Calon Wakil Presiden Ma'ruf Amin (kanan) nomor urut 1 menyapa awak media saat datang di Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (27/6).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: William Henley, founder IndoSterling Group

Joko Widodo dan Ma'ruf Amin akan dilantik sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia masa bakti 2019-2024 di Ruang Rapat Paripurna MPR RI, Kompleks Parlemen, Jakarta, Minggu, 20 Oktober 2019. Berbagai persiapan pun telah dilakukan MPR RI di bawah nakhoda Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo demi menyukseskan acara bersejarah tersebut.

Semakin dekat waktu pelantikan Jokowi-Ma'ruf, berbagai rumor pun berkembang perihal kabinet mendatang. Mulai dari sosok yang dijagokan menjadi menteri maupun kepala lembaga setingkat menteri hingga nomenklatur kementerian maupun lembaga.

Kabar menarik tentu berkaitan dengan sosok menteri di sektor ekonomi. Kalangan pelaku pasar pun telah menyuarakan keinginan mereka. Apalagi di saat indeks harga saham gabungan (IHSG) melemah seperti sekarang, hingga sempat menyentuh level di bawah 6.000. Bahkan ada prediksi IHSG tersungkur ke level 5.700 pada akhir tahun nanti.

Pendapat pelaku pasar yang disarikan dari berbagai media identik. Intinya dibutuhkan sosok menteri eksekutor di tengah kondisi ketidakpastian ekonomi global akibat perang dagang Amerika Serikat dan China hingga resesi beberapa negara seperti Jerman.

Lalu, seperti apa sosok menteri yang harus dipilih Jokowi? Apakah dia harus profesional dan tidak berasal dari partai politik? 

Pelajaran berharga

Jokowi-Ma'ruf telah berjanji akan menjadi presiden dan wakil presiden bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal itu diutarakan Jokowi di Lanud Halim Perdanakusuma, Kamis, 27 Juni 2019, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak seluruh gugatan yang dilayangkan capres dan cawapres dari Koalisi Indonesia Adil dan Makmur, yaitu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno.

Dalam mengejawantahkan janji itu, tentu diperlukan kabinet yang solid dan mampu menjawab semua tantangan yang mengadang ke depan. Idealnya, Jokowi-Ma'ruf harus membentuk kabinet zaken, kabinet yang jajaran menterinya berasal dari kalangan ahli dan bukan representasi suatu partai politik tertentu.

Menyimak fakta sejarah, kabinet zaken pernah ada para era pemerintahan Presiden Sukarno. Kabinet yang dimaksud adalah Kabinet Natsir yang dibentuk 6 September 1950. Namun, kabinet itu berusia singkat karena 21 Maret 1951, Natsir mengembalikan mandat kepada Bung Karno.

Saat ini, bisa dikatakan mustahil bagi Jokowi membentuk kabinet zaken. Sebab, dalam pencalonan presiden dan wakil presiden, Jokowi-Ma'ruf diusung oleh sejumlah partai dengan motor utama adalah PDIP. Tentu akan ada jatah menteri bagi masing-masing partai politik. Belum lagi ditambah kabar terbaru bahwa pihak oposisi macam Partai Gerindra juga turut ditawari kursi menteri dalam kabinet mendatang.

Sadar bahwa publik menginginkan kabinet yang mayoritas diisi profesional, Jokowi pun telah memastikan komposisi menteri dalam kabinet nanti adalah 55-45 (55 persen profesional dan 45 persen partai politik).

Lalu, apakah itu sudah cukup? Tentu belum. Jokowi pun harus memastikan agar menteri yang ditunjuk nanti benar-benar bebas dari kepentingan pribadi dan kelompok.

Ia harus mengabdi penuh kepada nusa dan bangsa. Caranya adalah dengan meminta yang bersangkutan (baik dari profesional dan partai politik) jika memiliki jabatan atau bisnis yang berkaitan dengan amanah yang diemban, untuk melepaskan semua itu.

Untuk sektor ekonomi, pelajaran berharga dapat dipetik dari Kabinet Kerja I. Jamak terlihat ketidaksinkronan kebijakan antarkementerian. Misalnya di sektor riil, yaitu pertanian, perdagangan, dan perindustrian. Padahal, ketiga sektor itu merupakan dinamo perekonomian dalam negeri.

Khusus untuk perindustrian, fakta telah menunjukkan porsi manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) terus menurun sejak 2011 hingga tahun lalu hanya mencapai 21,04 persen. Sebuah PR besar yang harus segera diselesaikan tentunya.

Pelajaran lain adalah perang dingin antarmenteri. Misalnya yang dipicu ketidakakuratan data pangan. Ini telah terjadi sejak awal mula Kabinet Kerja I sampai dengan sekarang. Kegaduhan-kegaduhan semacam itu tentu tidak elok dan mengurangi kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintahan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement