REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi (TAB) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Soni Solistia Wirawan mengatakan pengembangan obat membutuhkan dukungan kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia (SDM).
"Masalahnya untuk kasus Indonesia adalah kapasitas risetnya, karena pengembangan obat di Indonesia bukan riset umum. Banyak yang cari senyawa aktif, tapi setelah mendapatkan senyawa aktif, tidak banyak sampai ke kandidat obat," kata Soni kepada wartawan di sela-sela dalam The 2nd International Symposium on Natural Resources-based Drug Development di Hotel Sari Pacific, Jakarta, Rabu (10/10).
Menurut Soni, saat ini masih sedikit kapasitas peneliti Indonesia yang fokus bidang optimasi struktur obat. Kemudian, tantangan perbaikan regulasi untuk mendukung percepatan pengembangan obat serta sistem dan ekosistem yang bisa mendorong riset pengembangan obat.
Soni menuturkan 206 industri farmasi yang ada di Indonesia sebenarnya bukan industri yang memproduksi melainkan meracik obat dari bahan baku yang diimpor. Padahal di sisi lain, Indonesia memiliki sumber bahan baku dari kekayaan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia.
Kepala Balai Bioteknologi Deputi Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Agung Eru Wibowo menuturkan dalam upaya percepatan pengembangan obat di Indonesia, yang harus dibangun utamanya adalah kesiapan infrastruktur termasuk sumber daya manusia (SDM), fasilitas dan metode sehingga kemampuan untuk mendesain dan memulai untuk penemuan obat dapat dinilai siap.
"Untuk lima tahun ini arah utamanya adalah pembangunan kapasitas. Pertama, fasilitas riset dilengkapi. Kita mendapatkan beberapa peralatan. Kemudian SDM-nya dilatih, bagaimana SDM itu mampu meng-handle sumber daya kemudian memanfaatkan isolasi senyawa dan kebetulan sumber daya yang kita gunakan adalah mikroba," tuturnya.
Melalui program Satreps atau Kemitraan Penelitian Sains dan Teknologi untuk Pembangunan Berkelanjutan,BPPT dan JICA membangun kerja sama terutama pembangunan kapasitas, yang mana para peneliti BPPT salah satunya dilatih untuk memelihara mikroba, mengkoleksi, mengkarakterisasi, mengidentifikasi dan mencari senyawa yang potensial untuk bahan baku obat.
Kerja sama ini fokus pada persiapan infrastruktur dan sumber daya manusia untuk mengembangkan bahan baku obat untuk antimalaria.
Pembangunan kapasitas ini untuk memperkuat sumber daya manusia dalam memanfaatkan sumber daya sekaligus didukung dengan fasilitas untuk menemukan bahan baku obat untuk antimalaria.
Program Director untuk kerja sama dalam kerangka Satreps yang juga peneliti di Balai Bioteknologi BPPT Danang Waluyo mengatakan pengembangan obat juga memerlukan dukungan pendanaan karena untuk mengembangkan dan memproduksi obat memerlukan setidaknya waktu 10-15 tahun.
"Kalau saya melihat dari pengalaman perusahaan farmasi yang sudah mengembangkan obat, biaya yang dikeluarkan sangat besar dari pengembangan sampai obat butuh waktu 10-15 tahun dan biaya bisa sampai level triliun rupiah," ujar Danang.
Melalui program Satreps, Danang menuturkan saat ini pihaknya telah menemukan lebih dari 20 senyawa aktif yang potensial untuk mengembangkan dan membuat obat anti malaria.
"Malaria menjadi penyakit yang terlupakan, banyak orang butuh tapi tidak banyak yang mengembangkan," ujar Danang.
Danang menuturkan perlu perbaikan untuk regulasi dari sisi obat, bisnis dan hukum. "Kita ingin membangun negara ini PR (pekerjaan rumah) ini tidak hanya menemukan senyawa aktif tapi bagaimana infrastruktur untuk pengembangan obat ini terbangun," tuturnya.