REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Coruption Watch (ICW) terus mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangan-Undang (Perpu) terhadap UU KPK. Sebab, jika Perppu KPK tak dibuat oleh Presiden, akan muncul delapan dampak negatif terhadap upaya pemberantasan korupsi maupun bagi pemerintahan Jokowi sendiri.
Pertama, penindakan kasus korupsi akan melambat. Menurut ICW, UU KPK hasil revisi yang tinggal menunggu diundangkan itu akan membuat proses pemberantasan korupsi menjadi sangat birokratis.
"Seperti penyadapan dan penyitaan aset harus seizin Dewan Pengawas," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam konfrensi pers Koalisi Save KPK di Kantor YLBHI, Jakarta, Ahad (6/10).
Kedua, KPK tidak lagi sebagai institusi utama pemberantasan korupsi. Sebab, porsi komisi antirasuah itu akan sama dengan Kepolisian dan Kejaksaan.
"KPK tidak lagi menjadi leading sector pemberantasan korupsi," ucap Kurnia.
Dampak buruk ketiga, citra pemerintah akan memburuk. Sebab, sudah terjadi penolakan yang sangat keras dari masyarakat. Terbukti dengan demonstrasi yang dilakukan mahasiswa pekan lalu.
Keempat, kepercayaan masyarakat akan menurun kepada Jokowi. Sebab, presiden dinilai ingkar janji terhadap poin ke empat nawacita yang menyebutkan akan berkomitmen dalam pemberantasan korupsi.
Yang kelima, indeks persepsi korupsi Indonesia akan turun. "Efeknya citra pemerintah di mata internasional juga akan semakin menurun dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi," katanya.
Dampak keenam, presiden akan dinilai mengkhianati reformasi. Sebab, salah satu anak kandung reformasi adalah didirikannya KPK. Ketujuh, Jokowi akan dinilai menghianati amanat rakyat. Sebab, dalam kampanyenya, Jokowi telah berjanji untuk menguatkan KPK.
"Bahkan Jokowi dan Prabowo dulu dalam debat sama-sama ingin memperkuat KPK. Tapi yang terjadi sekarang bukanlah penguatan KPK," ujar Kurnia.
Yang terakhir, penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption yang diterima Jokowi akan dipertanyakan oleh publik. Jokowi diketahui mendapatkan penghargaan itu pada 2010 saat menjabat wali kota Solo.
"Kalau tidak ada Perppu maka wajar publik meminta award itu ditarik saja karena tidak ada lagi sosok pro-pemberantasan korupsi dari Jokowi," kata Kurnia, tegas.
Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menilai jika posisi pemerintah dalam pertimbangan penerbitan Perppu seperti dihadapkan kepada "buah simalakama". Pemerintah pun hingga kini belum memutuskan apakah akan menerbitkan Perppu ataukah tidak.
Dia mengatakan, memang tidak ada keputusan yang bisa memuaskan semua pihak. Pemerintah, lanjutnya, juga menampung semua aspirasi dan usulan dari berbagai pihak, termasuk mahasiswa, masyarakat hingga partai.