Rabu 02 Oct 2019 17:16 WIB

LBH Tuduh Polisi Lakukan Penyiksaan Terhadap Mahasiswa

LBH menyatakan korban mengaku menerima pemukulan saat ditangkap.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Ratna Puspita
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) - Arif Maulana
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) - Arif Maulana

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana, mengatakan, polisi diduga melakukan penyiksaan terhadap mahasiswa yang ditangkap saat berdemonstrasi pada 24, 26, dan 30 September lalu. LBH juga mencatat masih ada mahasiswa yang ditahan dan sampai saat ini belum dilepaskan. 

Hal tersebut disampaikan Arif saat menyampaikan laporan di Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (2/10). Arif mewakili Tim Advokasi untuk Demokrasi mengungkap sejumlah temuan di lapangan dan laporan dari para korban kekerasan aparat.  

Baca Juga

"Ada catatan mengenai adanya penggunaan kekuatan yang berlebihan dari aparat.  Bahkan saat proses penangkapan (para demonstran) ada dugaan polisi melakukan penyiksaan," ujar Arif.  

Informasi ini dihimpun dari pernyataan korban yang mengungkapkan saat ditangkap, dia menerima pemukulan dari polisi. "Tapi kalau dalam terminologi HAM kan orang di bawah kuasa aparat, saat ada kekerasan itu artinya penganiayaan," ungkap Arif melanjutkan.

Kemudian, Tim Advokasi untuk Demokrasi pun mencatat temuan penangkapan yang dilakukan secara besar-besaran oleh polisi.  Tidak kurang dari 600 orang ditangkap saat menggelar demonstrasi menolak RKUHP dan sejumlah UU lain itu.  

Arif menggarisbawahi penangkapan yang tidak semestinya. Menurut dia, mahasiswa bukan ditangkap, melainkan diburu.  

"Jadi, bukan penangkapan untuk penegakan hukum. Sebab, saat peserta aksi sudah membubarkan diri, kemudian masih diburu oleh polisi, " tutur Arif.  

Berdasarkan kesaksian sejumlah korban yang didampingi timnya, ada yang mengatakan saat mahasiswa makan di pinggir jalan atau saat mereka sudah menepi ke area Jakarta Convention Center (JCC) yang berjarak cukup jauh dari lokasi demonstrasi, masih tetap diburu polisi.

Arif menjelaskan, temuan terkait penangkapan polisi yang terkesan brutal. Indikasinya, siapa saja yang ditangkap, dari kampus mana, alasan penangkapan apa, dan statusnya saat demonstrasi sebagai apa tidak pernah diungkap dengan transparan sampai saat ini. 

Saat ditahan, mahasiswa dan pelajar diduga tidak diberikan pendampingan baik dari orangtua maupun kuasa hukum. Bahkan, informasi terkait mereka yang ditahan sangat sulit diakses baik oleh keluarga maupun Tim Advokasi untuk Demokrasi.  

"Anak-anak yang dikabarkan sudah dilepaskan dan pulang ke rumah, ternyata saat dicek belum dipulangkan. Saat kami cross check lagi ternyata masih ditahan. Mereka semua juga berhak didampingi kuasa hukum, tetapi akses untuk berikan bantuan hukum itu tak dibuka bahkan terkesan dihalang-halangi," katanya.   

Sebelumnya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan, kepolisian menangkap sebanyak 649 orang terkait aksi unjuk rasa yang berakhir ricuh di sekitar gedung DPR RI, Senin (30/9). Dedi menyebut, ratusan orang itu ditangkap oleh Polda Metro Jaya dan jajaran polres.

"Jumlah di Polda ada 380 orang," kata Dedi di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (1/10).

Dedi memerinci, khusus jajaran Polda Metro Jaya, Ditreskrimum menangkap sebanyak 258 orang, Ditreskrimsus 40 orang, dan Ditresnarkoba 82 orang. Sementara itu, sambung dia, di Polres Jakarta Utara terdapat 36 orang yang ditangkap, Polres Jakarta Pusat sebanyak 63 orang, dan Polres Jakarta Barat 170 orang. 

Ia menambahkan, hingga kini pihak kepolisian masih melakukan proses penyelidikan. "Seluruhnya masih dalam proses penyelidikan," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement