REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi membuka kemungkinan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara korupsi penghapusan piutang Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI) terhadap Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Saat ini, KPK sedang melakukan pendalam mengenai kemungkinan tersebut.
"Untuk PK nanti kita akan dalami ya kalau ada itu bisa membantu apa 'mengclearkan' perkara, kenapa tidak? Kemarin kan tiga hakim beda semua kan yang satu pidana yang satu perdata yang satu administrasi," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Jakarta, Selasa (1/10).
Alexander mengatakan KPK akan mendalami pelanggaran etik oleh anggota majelis hakim kasasi Mahkamah Agung (MA), Syamsul Rakan Chaniago. Pendalaman untuk mengetahui apakah hukuman kode etik untuk Syamsul terkait dengan penanganan perkara Syafruddin Arsyad Tumengung.
"Sejauh mana relevansinya terkait dengan keputusan yang kemarin dia buat kan? Apakah putusan yang kemarin dibuat itu terkait dengan pelanggaran kode etik atau tidak akan kita lihat relevansinya dengan perkara yang diputuskan," kata Alexander.
Sebelumnya, Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro menyatakan hakim ad hoc Tindak Pidana Korupsi, Syamsul Rakan Chaniago, terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim. Syamsul dihukum tidak boleh menangani perkara selama 6 bulan.
Pelanggaran etik yang dilakukan Hakim Syamsul Rakan Chaniago adalah namanya masih tercantum di kantor law firm walau sudah menjabat sebagai hakim ad hoc Tipikor pada MA. Selain itu, ia mengadakan pertemuan dengan pengacara SAT yaitu Ahmad Yani di Plaza Indonesia pada 28 Juni 2019 pukul 17.38-18.30 WIB.
Padahal saat itu, Syamsul adalah salah satu majelis hakim kasasi yang menangani kasus dugaan korupsi perkara korupsi penghapusan piutang BLBI terhadap BDNI dengan terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Tumengung (SAT). Pada 9 Juli 2019 lalu, majelis kasasi yang terdiri atas hakim Salman Luthan selaku ketua dengan anggota hakim Syamsul Rakan Chaniago dan Mohamad Asikin memutuskan SAT tidak melakukan tindak pidana sehingga harus dikeluarkan dari tahanan.
Selain pendalaman pelanggaran kode etik, hal yang perlu dicermati KPK adalah aturan dalam KUHAP menegaskan bahwa yang berhak mengajukan PK ialah terpidana atau ahli warisnya. Pasal 263 Ayat (1) KUHAP mengatakan bahwa "terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung".
Banyak pakar hukum mengatakan pengajuan PK oleh jaksa itu adalah kekeliruan peradilan (rechtelijke dwaling) dan langkah jaksa semacam itu tak ubahnya menerobos aturan KUHAP. Mahkamah Konstitusi (MK) pada Mei 2016 juga memutuskan jaksa tidak boleh mengajukan PK.