Sabtu 28 Sep 2019 02:40 WIB

KPAI: Jangan Keluarkan Anak Ikut Unjuk Rasa dari Sekolah

Menurut KPAI mengeluarkan anak dari sekolah merupakan bentuk pelanggaran haknya.

Massa aksi pelajar STM saat terlibat bentrok dengan polisi ketika melakukan aksi unjuk rasa tolak UU KPK hasil revisi dan RKUHP di Jalan Layang Slipi, Petamburan Jakarta, Rabu (25/9/2019).
Foto: Republika
Massa aksi pelajar STM saat terlibat bentrok dengan polisi ketika melakukan aksi unjuk rasa tolak UU KPK hasil revisi dan RKUHP di Jalan Layang Slipi, Petamburan Jakarta, Rabu (25/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Bidang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti meminta anak-anak yang ikut aksi unjuk rasa pada Kamis (26/9) tidak dikeluarkan dari sekolah karena merupakan bentuk pelanggaran hak anak.

"Berkaitan dengan pemenuhan hak atas pendidikan bagi anak-anak tersebut, KPAI akan berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan dinas pendidikan di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten," kata Retno melalui siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat (27/9).

Retno mengatakan anak adalah manusia yang belum dewasa. Ketika anak melakukan kesalahan, maka harus diberi kesempatan memperbaiki diri karena masa depannya masih panjang.

KPAI telah menerima pengaduan dari pengacara publik Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) terkait sejumlah anak yang mengikuti aksi unjuk rasa pada Kamis (26/9) yang terancam dikeluarkan dari sekolah.

"Sebagian anak yang mengikuti aksi unjuk rasa berasal dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Dari tiga provinsi asal anak-anak itu, baru DKI Jakarta yang sudah menyatakan tidak akan memberikan sanksi dengan mengeluarkan mereka dari sekolah, atas nama kepentingan terbaik bagi anak," tuturnya.

Retno mengatakan Dinas Pendidikan DMI Jakarta akan melibatkan orang tua dalam menangani anak-anak yang terlibat unjuk rasa. Dalam waktu dekat Bidang Kesiswaan Dinas Pendidikan DKI Jakarta akan mengundang para siswa dan orang tuanya.

"Dinas Pendidikan DKI Jakarta menyadari bahwa pengawasan terhadap anak tidak hanya dilakukan pihak sekolah, tetapi yang utama justru orangtua," katanya.

Pertemuan tersebut untuk menyamakan persepsi pola pengawasan dan pengasuhan anak sehingga tidak mudah terprovokasi mengikuti ajakan-ajakan pihak manapun, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, yang berpotensi membahayakan keselamatan anak.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement