REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ombudsman Republik Indonesia sebagai lembaga pengawas pelayanan publik meminta aparat kepolisian tak represif menghadapi pengunjuk rasa. Kepolisian harus mampu menangani demonstrasi tanpa kekerasan.
"Sebagai alat negara yang dilengkapi dengan kemampuan khusus, pasukan yang terlatih serta rantai komando harus mampu meniadakan kekerasan yang seharusnya bisa dihindari," ujar anggota Ombudsman Ninik Rahayu dalam siaran pers, Kamis (26/9).
Untuk itu, lanjut dia, tindakan represif yang dilakukan aparat tidak memicu emosi publik. Bahkan, bisa saja akan memicu aksi untuk beberapa hari kedepan di wilayahnya masing-masing.
Ninik mengingatkan cara bertindak kepolisian dalam penanganan aksi unjuk rasa. Menurut dia, Polri pasti memiliki perencanaan yang dilengkapi dengan informasi dari intelijen, sehingga mampu mempersiapkan jumlah personel sekaligus cara bertindak untuk menghadapi massa aksi.
Ia melanjutkan, upaya persuasif untuk mencegah meluasnya unjuk rasa hendaknya lebih dikedepankan. Dengan demikian, unjuk rasa dapat berjalan tertib tanpa ada penegakan hukum terhadap tindakan kekerasan yang berujung pidana.
"Fungsi intelijen dan keamanan Polri memiliki peran tersebut, karena dapat melakukan penggalangan dan pengamanan agar unjuk rasa berjalan tertib sehingga tidak perlu memerlukan tindakan dalam rangka penegakan hukum," jelas Ninik.
Ninik meyakini Polri dapat bersikap profesional dengan mengedepankan langkah persuasif. Hal itu tentu dapat ditempuh dengan menggunakan informasi intelijen yang akurat agar tidak salah dalam mengambil tindakan yang tegas terukur serta tidak menggunakan opsi tunggal yakni penegakan hukum semata.