Kamis 26 Sep 2019 08:58 WIB

Uji Materi UU KPK Perlu Hati-Hati

Pengajuan judicial review menunggu penomoran dari pemerintah.

Massa aksi pelajar STM saat terlibat bentrok dengan polisi ketika melakukan aksi unjuk rasa tolak UU KPK hasil revisi dan RKUHP di Jalan Layang Slipi, Petamburan Jakarta, Rabu (25/9/2019).
Foto: Republika
Massa aksi pelajar STM saat terlibat bentrok dengan polisi ketika melakukan aksi unjuk rasa tolak UU KPK hasil revisi dan RKUHP di Jalan Layang Slipi, Petamburan Jakarta, Rabu (25/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah pegiat antikorupsi masih menunggu pengundangan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi. Pasalnya, uji materi atau judicial review UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi membutuhkan nomor peraturan perundang-undangannya sebagai objek yang diuji.

Namun, banyaknya pihak yang ingin melakukan uji materi mengakibatkan perlunya pengkajian maksimal. Koordinator Divisi Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun mengatakan, selain menunggu penomoran, pihaknya juga masih mencermati batu uji yang akan digunakan untuk uji materi. "Publik sudah mendorong kita (untuk mengajukan permohonan uji materi) dan kita (menyatakan) iya," ujar Tama di Jakarta, Selasa (24/9).

Tama mengungkapkan, beberapa pihak sudah mengungkapkan keinginan untuk mengajukan judicial review ke MK. Bahkan, beberapa mahasiswa sudah ada yang mengajukan uji materi. Ia menyarankan uji materi itu tak dilakukan dengan terburu-buru.

"Sikap tersebut tentu kami apresiasi, tetapi sebaiknya perlu dikoordinasikan. Sebab, ketika, misalnya, tidak hati-hati, ternyata batu uji sudah dipakai menguji secara bersama-sama antara formil dan materiel, bagaimana kalau tidak dikabulkan? Itu kan membahayakan yang lain yang mau uji materi dan sudah punya persiapan," kata dia.

Tama menambahkan, masyarakat tentu marah dengan proses legislasi UU KPK yang terkesan dipaksakan oleh DPR. Namun, dia kembali mengingatkan agar uji materi tidak dilakukan secara sembarangan. "Kami ICW mempertimbangkan pendapat masyarakat. Sebab, jika nanti kami mendaftar uji materi di MK, tentu bukan hanya sebagai ICW saja tapi juga bagian dari masyarakat," kata Tama.

Beberapa pegiat antikorupsi yang juga tengah menyiapkan uji materi di antaranya Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), dan koalisi masyarakat sipil tolak revisi UU KPK. Yang terakhir adalah gabungan dari sejumlah perguruan tinggi di Indondesia.

Anggota koalisi, Bivitri Susanti, mengatakan, pihaknya masih mempersiapkan sejumlah materi gugatan. Dia mengaku belum bisa menyampaikan isi materi tersebut hingga permohonan secara resmi diajukan. Sementara itu, peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Charles Simabura, yang tergabung dalam koalisi mengatakan, mereka akan mengajukan uji materil dan uji formal.

Menurut dia, jika uji formal dikabulkan, seluruh aturan di dalam UU tersebut dapat dibatalkan. Sementara itu, jika uji materiel yang dikabulkan, hal ini dapat mengubah beberapa pasal yang dianggap bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi.

Koordinator MAKI Boyamin Saiman menyatakan dalih untuk membuat UU KPK itu yang harus diuji. "Kami tengah menyiapkan dalil dan bukti-bukti agar MK nantinya membatalkan beberapa pasal di dalam UU KPK itu," kata Boyamin, akhir pekan lalu.

photo
Penutupan logo KPK dengan kain hitam.

MK siap

Sementara itu, MK mengaku menanti pengajuan uji materi UU KPK tersebut. MK menilai uji materi UU merupakan langkah konstitusional. "Ya, langkah itu langkah hukum yang tepat, bermartabat, dan konstitusional," ujar Juru Bicara MK Fajar Laksono, Rabu (18/9).

Fajar menegaskan, MK akan memperlakukan uji materi itu secara proporsional sesuai ketentuan hukum acara. Dia pun meminta publik ikut memantau dan mengawasi proses persidangannya di MK. "Kita tunggu saja permohonannya diserahkan ke MK, sekiranya rencana itu benar. Kita ikuti prosesnya. Publik silakan turut memantau dan memonitor," kata dia.

Dia juga menyarankan agar permohonan uji materi dilakukan setelah UU KPK yang baru diundangkan. Menurut dia, hal tersebut penting agar objek uji materielnya ada dan jelas.

"Harus diingat, UU tersebut belum diundangkan, belum ada nomor, sehingga secara de jure pengajuan permohonan tersebut belum ada objectum litis-nya," kata dia.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menegaskan, masyarakat yang menolak UU KPK dapat menempuh jalur konstitusional dengan mengajukan uji materi ke MK. Ia meminta agar masyarakat menghargai mekanisme konstitusional yang ada di Indonesia.

"Kan sudah saya bilang, sudah presiden bilang, gunakan mekanisme konstitusional. Lewat MK dong. Masa kita main paksa-paksa. Sudahlah," kata dia di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Rabu (25/9).

Pernyataan Yasonna menanggapi desakan agar presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) sebagai pengganti UU KPK yang baru. n dian erika nugraheny/dessy suciati saputri ed: ilham tirta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement