Kamis 26 Sep 2019 06:52 WIB

Siapa yang Bisa Kita Percaya Saat Bicara Kondisi Negara?

Tidak semua orang mau mengecek fakta atas informasi di media sosial.

Nur Aini
Foto: dok. Republika
Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID,  oleh Nuraini*

Banyak berita mengenai kondisi negara yang akhir-akhir ini menyita perhatian dari upaya pelemahan KPK sampai pekatnya kabut asap kebakaran hutan dan lahan. Informasi mengenai kondisi itu riuh dibahas di sosial media yang menghadirkan argumen pro dan kontra. Masalahnya informasi mana yang bisa kita percaya?

Pembahasan di sosial media layaknya perang kata-kata. Saat membahas revisi undang-undang KPK misalnya, ada pihak yang menolak tapi muncul pula mereka yang mendukung. Kedua pihak membeberkan argumen, yang mengklaim kebenarannya. Saat kabut asap mendera wilayah Kalimantan dan Sumatra, ada pejabat bilang kondisi tidak separah pemberitaan media. Disuguhi berbagai informasi itu, kita seperti ditantang atau bahkan mencurigai logika kita sendiri untuk menimbang mana yang fakta dan mana yang bohong atau hoaks.

Untuk menguji mana yang fakta dan hoaks sebenarnya tinggal mengecek kebenarannya, minimal dengan membaca sumber informasi terpercaya. Sayangnya, itu tidak semudah mengatakannya, tidak semua orang mau repot mengecek fakta dan menelusuri bukti. Informasi hoaks justru lebih dipercaya dan diyakini sebagai fakta.

Dalam pembahasan soal UU KPK misalnya, ada isu yang dihembuskan bahwa lembaga anti-korupsi itu disusupi Taliban sehingga perlu diawasi. Berapa dari kita yang mau repot mengecek Taliban itu apa? Bagaimana bisa kelompok yang sering meneror Afghanistan itu sampai ke KPK? Bagaimana isi revisi UU KPK? Bagaimana kinerja KPK selama ini sehingga perlu diawasi?

Pembahasan lainnya juga mengenai rancangan undang-undang penghapusan kekerasan seksual (RUU-PKS) yang dicurigai sebagai liberal dan pro perbuatan zina. Berapa dari kita yang mau mengecek isi RUU-PKS? Mengapa undang-undang itu mendesak harus disahkan di Indonesia? Bagaimana korban kekerasan seksual sehingga Indonesia butuh segera mengesahkan RUU-PKS?

Saat sudah melakukan penelusuran fakta pun, bisa jadi informasi yang ditemukan tidak lagi dipercaya karena kadung yakin pada opini yang beredar di sosial media. Pembaca hanyut dalam emosi yang dimainkan oleh penyebar hoaks. Kita jadi menantang kepercayaan yang lama kita anut. Hal itu misalnya seperti kita sudah lama menolak segala macam kekerasan seksual dan sepakat menghukum pelaku, tapi justru kita menaruh curiga pada undang-undang yang akan mengakomodasinya akibat berbagai hoaks yang disebar.

Kamus Oxford mendefinisikan kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal dalam istilah post-truth. Istilah itu diperkenalkan pertama kali pada 1992 oleh Steve Tesich di majalah The Nation untuk merefleksikan kondisi perang Teluk Persia dan Iran, meski dengan arti yang berbeda yaitu sebagai era setelah fakta diketahui, bukan implikasi baru bahwa fakta itu sendiri menjadi tidak relevan.

Istilah post-truth dinobatkan "kata tahun ini" pada 2016 oleh Kamus Oxford setelah marak digunakan saat membahas momentum referendum Inggris keluar dari Uni Eropa dan pemilihan presiden AS yang dimenangkan oleh Donald Trump. Konsep post-truth sering digunakan untuk menunjuk era merebaknya berita hoaks di media sosial dan banyaknya berita bohong yang disebarkan oleh politisi.

Menghadapi era post-truth itu memang menuntut upaya untuk meningkatkan literasi publik. Dengan membaca dan membuka wawasan baru, minimal mampu mencerna dan mencurigai mana yang merupakan berita bohong. Bagi yang malas membaca dan mengecek fakta, sepertinya memang harus konsisten di jalur kemalasannya. Kalau malas membaca, maka malaslah untuk percaya, malaslah untuk tidak membagikan informasi tidak jelas kebenarannya. Meskipun, malas membaca tentu tidak akan membawa kita kemana-mana.

*) Penulis adalah jurnalis Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement