Senin 23 Sep 2019 18:24 WIB

Berkenalan dengan Kartininya Dunia Maritim Nasional

Entin tercatat sebagai nakhoda pertama di Indonesia.

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Friska Yolanda
Entin Kartini perempuan pertama yang menjadi nakhoda di Indonesia.
Foto: Republika/Rahayu Subekti
Entin Kartini perempuan pertama yang menjadi nakhoda di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, LABUAN BAJO – Mungkin banyak yang tidak tahu, Hari Maritim Nasional jatuh setiap 23 September. Dunia maritim yang melekat dengan laut dan samudera, siapa sangka sebenarnya perempuan pun bisa berkarier dan menginspirasi.

Bahkan International Maritime Organization (IMO) pada tahun ini merayakan Hari Maritim Internasional yang jatuh setiap 26 September dengan tema 'Empowering Women in the Maritime Community'. Indonesia yang juga menjadi negara anggota IMO ternyata memiliki Kartini tangguh di dunia maritim.

Perempuan kelahiran 25 Desember 1946, Entin Kartini mampu menggambarkan sosok kartini sebenarnya dalam dunia maritim. Organisasi Women in Maritime (Wima) Indonesia bahkan menobatkan perempuan yang kerap disapa Kartini itu sebagai tokoh perempuan di bidang maritim Indonesia paling inspiratif 2019.

Perempuan yang menyelesaikan pendidikan S3 Management pendidikan di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu tercatat dalam sejarah sebagai nakhoda wanita pertama di Indonesia. Kartini berhasil meniti karier sampai jenjang tertinggi bagi perwira deck, yaitu nakhoda atau kapten kapal.

Kartini memulai kariernya pertama kali bersama PT Pelayaran Indonesia (Pelni) (Persero) pada 1971. Tak mudah, Kartini membutuhkan waktu 20 tahun hingga pada 1991 dipercaya menakhodai Kapal Motor (KM) AWU milik Pelni dan melayarkannya dari Jerman ke Indonesia.

Bahkan, karier Kartini tak berhenti hingga saat usia produktif saja. Pada usianya saat ini menginjak 72 tahun, Kartini tetap aktif sebagai pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran, Akademi Maritim Djadayat, ITL Trisakti, dan beberapa tempat mengajar short course untuk pelaut.

Saat mengingat pengalamannya waktu masih berlayar, Kartini mengawali karienya di dunia pelayaran dari tingkatan terendah yaitu Mualim 4 sebagai perwira dek. Saat itu, Kartini mengemban tugas sabgai perwira navigasi dan alat-alat keselamatan di kapal.

Setelah menjalani prosesnya hingga menjadi kapten, Kartini mengakui bajak laut pasti menjadi salah satu momok yang harus dihadapi setiap nakhoda. Sepanjang pelayarannya, Kartini mengakui kapal yang ia pimpin belum pernah dibajak namun bukan berarti peluang itu tak menhampirinya.

“Sebenarnya peristiwa pembajakan di Indonesia sudah banyak. Dari 2002, kapal Pelni saja sudah dua kali dibajak,” kata Kartini di Labuan Bajo pekan lalu.  

Meskipun tak pernah bertemu dengan bajak laut, Kartini tetap harus waspada karena jalur pelayarannya dulu harus melewati wilayah rawan. Saat bertugas di Pelni, Kartini harus melalui jalur pelayaran Malaysia barat dari Pineng dan Kinibalu ke Sandakan. Kedua jalur tersebut, kata Kartini, harus melewati Walawali Street.

“Di situ banyak bajak laut naik, kita dikasih tahu sama otoritas pelabuhan di sana, kapten jangan berangkat malam-malam supaya nanti biasanya bajak laut operasi malam. Jadi lebih baik anda berangkatnya menjelang pagi. Biasanya dia (bajak laut) itu mepet kita, kita dipepet akhirnya bisa kandas, mereka naik ke atas,” ungkap Kartini.

Kartini bersyukur hingga terakhir kali berlayar pada 1980 dengan kapal Pelni di jalur tersebut belum pernah bertemu dengan bajak laut. Menurutnya kapal yang sering dijadikan sasaran yang berjalan lambat dan anak buah kapal (ABK) nya sedikit.

Untuk menjadi nakhoda, Kartini menuturkan bukan menjadi hal yang mudah. Terlebih, sebagai perempuan, Kartini mengakui tidak semua perusahaan pelayaran bisa menerima nakhoda perempuan.

“Saya di pelni terus, dari awalnya memang maunya ke Pertamina, tapi Pertamina nggak terima perempuan bekerja di laut,” tutur Kartini.

Pada akhirnya, Kartini memutuskan bekerja di Pelni. Sejak awal, Kartini memang menjelankan praktik berlayarnya dengan menggunakan kapal milik Pelni dan hingga pensiun tidak berpindah pelayaran.

Hal tersedih yang paling ia rasakan sebagai nakhoda yaitu saat meninggalkan anaknya. “Ninggal anak satu bulan setiap pelayaran. Anak baru 14 bulan saya titip ke neneknya. Lapal sebulan sekali baru masuk ke Jakarta, 12 hari berlayar dan pulang 12 hari,” ungkap Kartini.

Hanya saja, selama hami, Kartini absen menjadi nakhoda. Dia mengatakan Pelni memiliki kebijakan jika ada yang hamil hanya bekerja di darat tidak ada yang ditaruh langsung di kapal saat berlayar.

Meskipun bekerja di darat, bukan berarti Kartini tidak sigap jika dibutuhkan. “Kami (dan suaminya) pada 1980 memutuskan minta di darat. Tapi tetap jadi ban serep, kalau ada yang nggak bisa ya jadi cadangan,” tutur Kartini.

Meskipun di dunia maritim didominasi oleh laki-laki, Kartini tidak pernah disepelekan oleh rekan kerjanya. Kartini mengatakan selama berlayar memiliki rekan kerja yang baik. Meski bawahannya banyak yang laki-laki, namun Kartini tetap dihargai sebagaimana layaknya kapten kapal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement