Senin 23 Sep 2019 10:09 WIB

KPK Diminta Cegah Potensi Kebocoran Penerimaan Cukai

Pencegahan KPK perlu masuk untuk memberikan perlindungan alternatif.

Pedagang menunjukan bungkus rokok bercukai di pasar Minggu, Jakarta, Ahad (15/9).
Foto: Republika/Prayogi
Pedagang menunjukan bungkus rokok bercukai di pasar Minggu, Jakarta, Ahad (15/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta melakukan pencegahan potensi kebocoran penerimaan cukai rokok. KPK diimbau jangan segan memberikan masukan kepada pemerintah bila ada kebijakan yang tidak tepat dan celah yang dapat dimanfaatkan oleh pabrikan asing.

Peneliti Visi Integritas Danang Widoyoko mengatakan divisi pencegahan KPK perlu masuk untuk memberikan perlindungan alternatif, melihat konsistensi regulasi dan memberikan masukan. "Terlbih bila ada potensi kehilangan penerimaan negara yang cukup besar. "Ini aspek yang penting," ujar dia di Jakarta.

Mantan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) itu menilai Pemerintah perlu meninjau ulang definisi perusahaan besar atau kecil pada kebijakan cukai rokok. Langkah itu diperlukan untuk membuat iklim bisnis di industri hasil tembakau menjadi sehat sehingga tidak ada perusahaan besar yang membayar cukai rendah.

“Mengapa batasan tiga miliar batang per tahun masuk perusahaan besar, sementara yang di bawah tiga miliar masuk golongan dua. Publik belum mendapat informasi jelas, dari mana angka tiga miliar itu," ujarnya. "Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga harus dilibatkan agar jelas penghitungannya, prosesnya harus dibuat terbuka.”

Sejumlah  pihak, seperti asosiasi pabrikan rokok kecil, ekonom, dan kelompok masyarakat madani menilai, kebijakan struktur tarif cukai yang terdiri dari 10 lapisan memiliki celah. Kebijakan itu membuka peluang bagi pabrikan besar asing untuk membayar tarif cukai lebih murah.

Solusi jangka panjang dan permanen untuk menutup celah kebijakan itu adalah dengan menggabungkan batasan produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dengan Sigaret Putih Mesin (SPM) menjadi tiga miliar batang per tahun.

INDEF pernah meneliti jika batasan produksi SKM dan SPM digabung menjadi tiga miliar batang. Hasilnya, ada 3,6 miliar batang yang diproduksi empat perusahaan multinasional didominasi para pemain besar asing yang seharusnya dikenakan tarif cukai tertinggi (golongan satu) rokok mesin SPM sebesar Rp 625 per batang.

Peneliti Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI) Abdillah Ahsan menegaskan Pemerintah perlu menetapkan penggabungan SKM dan SPM pada aturan kebijakan cukai menjadi 3 miliar batang per tahun. Tarif cukai rokok dibedakan berdasarkan produksinya.

"Golongan 1 untuk 3 miliar batang, sehingga hanya beda satu batang saja bisa ditekan produksinya untuk masuk golongan 2. Jadi karena 1 batang, selisihnya ada Rp 600 miliar potensi penerimaan yang hilang,” kata Abdillah.  

Sementara itu Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo merekomendasikan kepada Pemerintah untuk membenahi aturan cukai demi keberlangsungan industri ke depan. Pembenahan terhadap celah-celah di kebijakan cukai rokok saat ini diharapkan akan menciptakan persaingan usaha yang adil di industri hasil tembakau.

Begitu pula terhadap pengendalian konsumsi serta memberikan perhatian lebih terhadap segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang mempekerjakan puluhan ribu ibu-ibu pelinting rokok. “Sebenarnya yang paling pas adalah kebijakan simplifikasi. Karena kalau arahnya industri tembakau mudah diawasi, ya dibikin simple saja. Memang harus ada waktu untuk menerimanya karena industri tidak serta merta bisa menyesuaikan,” kata Yustinus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement