REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) meminta pemerintah mengejar pihak atau orang-orang yang paling menikmati keuntungan dengan adanya kejadian kebakaran hutan dan lahan. Ia menilai karhutla sekarang ini terjadi karena adanya upaya mendapatkan keuntungan finansial.
Juru Kampanye Walhi Zenzi Suhadi mengatakan kebakaran hutan sudah ada di Indonesia sejak ratusan tahun lalu. Namun, perbedaan mencolok pada era sekarang ialah kerentanan risiko gambut. Perbedaan lainnya, yakni skala dan motifnya yang berbeda.
Pada zaman dahulu, ia mengatakan, kebakaran hutan karena masyarakat lebih beradaptasi dan menjaga norma-normal lingkungan, bukan lantaran mengedepankan aspek keuntungan finansial seperti yang dilakukan para korporasi sekarang ini. Untuk itu, ia mengatakan, tidak tepat kalau pemerintah menuduh masyarakat peladang.
"Salah sasaran. Sekarang ladang sudah musim panen, nggak mungkin mereka melakukan pembakaran. Kejar orang-orang yang paling menikmati keuntungan dengan adanya kejadian ini," kata dia dalam acara "Karhutla: Kebakaran Hutan Lagi?" yang diselenggarakan Populi Center dan Smart FM Network di Cikini, Jakarta, Sabtu (21/9).
Zenzi berpandangan terus terjaring karhutla tak lepas dari belum maksimalnya proses penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan lingkungan. "Proses penegakan hukum selama ini terhadap pelaku kejahatan belum efektif karena ada beberapa hal, mulai regulasi dan perbedaan modus operandi para pelaku yang mengubah cara (membakar hutan)," kata Zenzi.
Zenzi menilai, lembeknya penegakan hukum tidak menimbulkan efek jera sehingga membuat kejadian pembakaran hutan dan lahan terus berlangsung setiap tahunnya. "Kita punya kelemahan karena masih memberi ruang dan tidak beri efek jera langsung ke korporasi, itu menjadi alasan kenapa pelaku pada 2015 masih melakukan lagi sekarang," sambung Zenzi.
Walhi, lanjut Zenzi, juga mendorong pemerintah menetapkan status darurat pencemaran udara, bukan bencana nasional. Apabila ditetapkan sebagai bencana nasional, seluruh biaya penanggulangan akan ditanggung negara.
Hal ini berbeda dengan status darurat pencemaran udara, di mana korporasi yang terlibat dalam pencemaran udara lewat karhutla diwajibkan menanggung seluruh biaya penanggulangan. "Ada kecenderungan pemerintah mensubsidi pada pelaku kejahatan lingkungan dengan menanggung beban penanggulangan dan beban ekonomi," ucap Zenzi.
Ia menyampaikan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) merupakan kejahatan luar biasa dan memerlukan upaya penanganan yang juga luar biasa. Untuk itu, ia menambahkan, persoalan penanganan karhutla memerlukan penanganan hukum khusus untuk menjerat para pelaku kejahatan karhutla.
"Walhi sejak 2014 mendorong pemerintah segera bentuk komisi khusus lingkungan dan pengadilan untuk penegakan kejahatan lingkungan. Dia (pelaku kejahatan lingkungan) terhubung dengan kejahatan keuangan di tempat lain," ujar Zenzi.
Menurut Zenzi, penanganan khusus mengenai kejahatan lingkungan amat diperlukan lantaran sifat kejahatan lingkungan dilakukan secara lintas batas negara. Walhi juga mendorong pemerintah mengeluarkan regulasi sita aset kepada perusahan yang terlibat dalam kejahatan lingkungan ini.
Zenzi menilai karhutla yang terjadi saat ini tak lepas dari kesalahan pemerintah dalam menangani kasus karhutla pada 2015. "Kita mesti sadari upaya pemerintah (menangani karhutla saat ini) melibatkan militer, itu terjadi karena kesalahan pemerintah sendiri. Seharusnya 2019 tidak akan terjadi kalau (penindakan) pada 2015 berhasil," lanjutnya.
Hal lain yang kerap luput dari pemerintah dalam kasus perusakan ekosistem gambut adalah bencana banjir. "Penegakan hukum terhadap kejahatan gambut kita berharap pembaharuan cara berpikir pemerintah yang perlu diperbaiki," ungkap Zenzi.