Jumat 20 Sep 2019 19:43 WIB

ICW: Revisi UU Pemasyarakatan, Remisi Koruptor Bisa Diobral

Dalam revisi UU Pemasyarakatan, remisi untuk napi korupsi tak perlu rekomendasi KPK.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Andri Saubani
Sejumlah aktivis menolak remisi untuk koruptor dan bandar narkoba (ilustrasi).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Sejumlah aktivis menolak remisi untuk koruptor dan bandar narkoba (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan, pihaknya menyoroti dua isu dalam revisi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan). Menurutnya, dua hal tersebut bisa membuat pemerintah melakukan obral remisi terhadap narapidana (napi) korupsi.

"Revisi UU pemasyarakatan memang ada dua isu besar yang jadi fokus kita bersama.  Pertama soal isu mempermudah pemberian remisi bagi napi dan kedua, soal pembebasan bersyarat," ujar Kurnia dalam diskusi di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat (20/5).

Baca Juga

Terkait remisi, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012, salah satunya diatur bahwa untuk mendapatkan remisi, harus ada klausul justice collaborator. Sementara itu, kata Kurnia, revisi UU pemasyarakatan saat ini tidak ada aturan yang demikian.

Pihaknya sendiri sangat setuju dengan aturan dalam PP Nomor 99 Tahun 2012. PP tersebut menurut Kurnia mengimplementasikan hukuman bagi tindak pidana korupsi yang disebut sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).

Dia melanjutkan, bagi narapidana korupsi sendiri memang harus ada syarat khusus jika mereka ingin dapat keringanan hukuman dari pemerintah. Kurnia mengungkapkan, ICW mencatat ada 338 napi korupsi yang mendapat remisi dalam momen HUT ke-73 RI lalu. 

"Bisa dibayangkan pada 17 Agustus-an itu remisi 338 orang mendapatkan pengurangan hukuman. Apalagi jika revisi pemasyarakatan ini disahkan, kita pastikan akan ada obral remisi besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah," tegasnya.

Kemudian, terkait pembebasan bersyarat bagi napi koruptor, yang selama ini kalau harus ada rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan draf revisi UU yang bisa diakses oleh ICW, Kurnia menyebut aturan seperti itu dihilangkan. 

Sebagai gantinya, pembebasan hanya melalui Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM. Dirjen Pemasyarakatan yang nantinya akan merekomendasikan apakah napi tersebut patut atau tidak patut mendapat pengurangan hukuman.

"Yang mana saat ini yang harus mengajukan rekomendasi adalah penegak hukum.  Penegak hukum itu tahu peran yang bersangkutan dalam konstruksi kasusnya. Kombinasi antara Dirjen Pemasyarakatan dan penegak hukum menjadi satu yang penting apakah orang ini layak atau tidak layak diberikan kebebasan bersyarat.  Ada klausul berkelakuan baik dan sebagainya," tambah Kurnia. 

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi III DPR Erma Ranik mengatakan, dalam rancangan UU Pemasyarakatan, DPR dan pemerintah sepakat meniadakan PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Diketahui dalam PP itu bahwa salah syarat pemberian remisi pembebasan bersyarat untuk napi kasus korupsi adalah rekomendasi penegak hukum (KPK).

"Kita berlakukan PP 32 tahun 1999 yang menyebut kita mengatur dengan korelasi dengan KUHP," kata Erma.

Jika PP Nomor 99 Tahun 2012 diatur syarat rekomendasi KPK untuk pembebasan napi korupsi, PP 32 tahun 1999 tidak mengatur keharusan rekomendasi tersebut. "Pengadilan saja. Kalau vonis hakim tidak menyebutkan bahwa hak anda sebagai terpidana itu dicabut maka dia berhak untuk mengajukan itu," ujarnya.

Politikus Partai Demokrat itu mengatakan, lembaga permasyarakatan bisa menilai layak tidaknya seorang narapidana mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat. Sepanjang putusan pengadilan tidak menyebut bahwa hak-hak narapidana dicabut, maka lembaga pemasyarakatan bisa memberikan remisi dan pembebasan bersyarat.

"Boleh mereka mengajukan. Diterima atau tidak tergantung Kementerian Hukum dan HAM," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement