Jumat 20 Sep 2019 07:06 WIB

TII: Pelemahan KPK Kabar Buruk Masa Depan Investasi

IPK menjadi rujukan bisnis untuk melihat pemberantasan korupsi di suatu negara.

Rep: Dian Erika Nugraheny / Red: Teguh Firmansyah
Sejumlah mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya berunjuk rasa di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (19/9). Mereka menyampaikan sejumlah aspirasi salah satu diantaranya menolak Revisi UU KPK yang baru saja disahkan oleh DPR RI.
Foto: ANTARA FOTO/Didik Suhartono
Sejumlah mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya berunjuk rasa di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (19/9). Mereka menyampaikan sejumlah aspirasi salah satu diantaranya menolak Revisi UU KPK yang baru saja disahkan oleh DPR RI.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), Dadang Trisasongko menilai pengesahan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK bisa menganggu laju pertumbuhan ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan dan pemerataan. Dia menilai korupsi bagi pelaku usaha dipandang sebagai bentuk inefisiensi. 

“Ini berita buruk bagi masa depan investasi di Indonesia. Pelemahan KPK melalui proses legislasi mengirimkan sinyal buruk yang membuat para pebisnis nasional dan global ragu dengan situasi iklim usaha Indonesia. Mengingat bagi kalangan pelaku usaha, korupsi akan menimbulkan inefisiensi”, kata Dadang dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Kamis (19/9).

Baca Juga

Transparency International, lanjut Dadang, setiap tahun merilis hasil kajian berupa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang menjadi rujujan kalangan bisnis untuk melihat situasi pencegahan dan pemberantasan korupsi di sebuah negara. Menurut dia, Indonesia dalam kurun waktu lima tahun terakhir telah menampakkan situasi antikorupsi yang cukup meyakinkan. 

"Skor IPK tahun 2013 adalah 32 poin dan pada 2018 adalah 38 poin di mana rerata kenaikan skor dalam kurun waktu tersebut adalah satu poin per tahun. Hal ini menampakkan upaya yang serius yang telah dilakukan oleh berbagai pihak, baik pemerintah dan KPK dalam membenahi sektor publik dan sektor bisnis," ungkap Dadang. 

Dari data IPK tersebut, dapat dilihat bahwa, peningkatkan secara signifikan kemudahan berbisnis memang akan meningkatkan skor IPK. Namun memutus relasi koruptif antara pejabat negara, pelayan publik, penegak hukum dan pebisnis menjadi salah satu kontribusi yang paling berdampak dalam mengurangi korupsi. 

photo
Massa dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) bersitegang dengan polisi saat unjuk rasa di depan Kantor KPK, Jakarta, Rabu (18/9/2019).

Di sisi lain,  pembenahan lembaga-lembaga politik harus dilakukan secara sungguh-sungguh. "Kontribusi kenaikan skor IPK dipicu oleh lahirnya sejumlah paket kemudahan berusaha dan sektor perizinan yang ramah investasi. Namun skor tersebut akan lebih optimal lagi kenaikannya jika maraknya praktik korupsi dalam sistem politik dan lembaga-lembaga penegakan hukum di Indonesia bisa diberantas dengan tuntas," tutur Dadang. 

Sementara itu, pada 2017 berdasarkan data yang dirilis oleh TII dalam Indeks Persepsi Korupsi 12 Kota menggambarkan situasi korupsi dalam kalangan pebisnis. Sebanyak 17 persen pelaku usaha di 12 Kota penyumbang PDB terbesar di Indonesia menyatakan pernah kalah dalam berkompetisi untuk mendapatkan proyek pemerintah karena pesaingnya melakukan suap.

Sedangkan jika disandingkan dengan data 2015, dengan responden yang sama ditemukan bahwa 20 persen pelaku usaha yang kalah bersaing karena suap.

Menurut Dadang, penurunan prevalensi suap ini adalah sebuah bentuk usaha bersama yang telah dilakukan berbagai pihak. Pemerintah, kata dia, hadir dengan paket kemudahan berusaha dan perbaikan sektor reformasi birokrasinya. 

"KPK dengan penindakan dan penegakan hukum yang pada akhirnya menimbulkan kepastian hukum yang bebas dari korupsi. Serta di kalangan pelaku usaha yang berkontribusi dalam kepatuhan terhadap etik dan integritas serta nilai-nilai antikorupsi yang dikembangkan dalam perusahannya," tutur dia.

Dengan melihat perubahan UU KPK, lanjut Dadang,  pada akhirnya hanya akan merusak tatanan integritas di kalangan pelaku usaha. Padahal, kata dia, tatanan antikorupsi telah dibangun oleh pebisnis di kalangan internal perusahaannya dan juga berbagai pihak yang menolak korupsi ketika akan atau sedang berusaha. 

Karena itu, Dadang mengatakan pihaknya mendesak Presiden Jokowi untuk mengkaji ulang perubahan Undang-undang KPK dan menagih janji Presiden dalam Nawa Cita untuk memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi.

Menurut dia, paket deregulasi dan debirokratisasi yang gencar dilakukan oleh presiden dan aparatur pemerintah perlu diimbangi dengan pembangunan sistem integritas dan antikorupsi yang memadai, terukur dan berdampak serta  tidak permisif terhadap korupsi.

Terakhir, bagi KPK, TII mendorong KPK tetap konsisten dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. KPK tetap diminta melakukan edukasi bagi publik dan kalangan pebisnis tentang bahaya korupsi dan dampaknya bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement