Selasa 17 Sep 2019 12:01 WIB

Baleg DPR Sebut Revisi UU KPK Tinggal Disahkan di Paripurna

Gerindra dan PKS masih memberikan catatan belum menyatakan sepakat.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Andri Saubani
Anggota kepolisian berjaga pasca kericuhan di depan gedung KPK, Jakarta, Jumat (13/9).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Anggota kepolisian berjaga pasca kericuhan di depan gedung KPK, Jakarta, Jumat (13/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) tetap disahkan di rapat paripurna DPR RI pada Selasa (17/9). Meskipun, Gerindra dan PKS masih memberikan catatan belum menyatakan sepakat.

Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas mengatakan, dalam rapat Baleg yang digelar pada Senin (16/9) mapam, ada tujuh fraksi yang menerima secara utuh masukan pemerintah soal Revisi UU KPK. Namun, dua fraksi belum bisa menerima karena ada catatan yg berkaitan dengan dewan pengawas.

Baca Juga

"Bahwa fraksi partai Gerindra dengan fraksi PKS belum bisa menerima secara utuh menyangkut revisi UU KPK ini karena berkaitan dengan mekanisme pemilihan dari dewan pengawas," kata Supratman di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Selasa (17/9).

Selain dua fraksi itu, satu fraksi lain yakni Demokrat tidak menyampaikan pendapat atau pandangannya dalam rapat Baleg. Kendati demikian, dengan tujuh fraksi yang sepakat, revisi UU KPK tetap diparipurnakan dengan catatan dari Gerindra dan PKS.

Supratman menjelasakan, Gerindra dan menginginkan supaya mekanisme di periode berikutnya, pemilihan harus melewati fit and proper test di DPR RI. Berlawanan dengan permintaan Presiden Joko Widodo yang menginginkan dewan pengawas dipilih presiden.

Akhirnya, revisi UU tersebut tuntas dan dibahas di Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI. "Sehingga pada pagi hari ini sudah dijadwalkan untuk di paripurna kan. Diambil dalam keputusan pimpinan tingkat kedua," ujar Supratman.

Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo memberikan tiga poin masukan terkait revisi UU KPK. Jokowi mengutus Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk membahas tiga masukan itu di rapat Badan Legislasi (Baleg) pada Kamis (12/9) malam.

"Pemerintah sependapat dengan DPR-RI untuk membentuk Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," kata Yasonna dalam rapat.

Adapun poin pertama yakni terkait dewan pengawas. Jokowi meminta  pengangkatan ketua dan anggota Dewan Pengawas menjadi kewenangan Presiden. Pemerintah beralasan, hal ini untuk meminimalisir waktu dalam proses penentuan dalam pengangkatannya.

Namun, mekanisme pengangkatan tetap melalui panitia seleksi dan mempersilakan masyarakat untuk dapat memberikan masukan rekam jejak calon anggota pengawas. Poin kedua yakni keberadaan Penyelidik dan Penyidik independen KPK. Pemerintah menilai perlu membuka ruang dan mengakomodasi penyelidik dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi berstatus sebagai pegawai ASN.

Dalam RUU ini pemerintah mengusulkan adanya rentang waktu yang cukup selama dua tahun untuk mengalihkan penyelidik dan penyidik tersebut dalam wadah Aparatur Sipil Negara, dengan tetap memperhatikan standar kompetensi, yakni harus telah mengikuti dan lulus pendidikan bagi penyelidik dan penyidik sesual dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Poin ketiga terkait penyebutan KPK sebagai lembaga negara. Putusan MK nomor 36/PUU-XV/2017 menyebutkan bahwa KPK merupakan lembaga penunjang yang terpisah atau independen di ranah eksekutif. KPK melaksanakan fungsi-fungsi dalam domain eksekutif yäkni penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement