Selasa 17 Sep 2019 07:59 WIB

BPPT Minta Teknologi Hujan Buatan Dilakukan Berkelanjutan

Teknologi modifikasi cuaca dapat menekan hotspot.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Andri Saubani
Satgas Karhutla Riau terus berupaya melakukan pemadaman di tengah pekatnya asap kebakaran lahan gambut yang terbakar di Desa Rimbo Panjang, Kabupaten Kampar, Riau, Senin (16/9/2019).
Foto: Rony Muharrman/ANTARA FOTO
Satgas Karhutla Riau terus berupaya melakukan pemadaman di tengah pekatnya asap kebakaran lahan gambut yang terbakar di Desa Rimbo Panjang, Kabupaten Kampar, Riau, Senin (16/9/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) siap membantu mengatasi kabut asap yang terjadi akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Provinsi Riau. Salah satu caranya menggunakan teknologi modifikasi cuaca (TMC) atau hujan buatan.

Kepala BPPT Hammam Riza menyampaikan, pencegahan karhutla, mutlak dilakukan, karhutla sangat sulit diatasi. Oleh karena itu, diperlukan hujan buatan yang lebih besa demi harus mengatasi karhutla puluhan ribu hektare.

Baca Juga

"Kami  terus berfokus melakukan operasi teknologi modifikasi cuaca di provinsi Riau ini, yang dilaksanakan oleh Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC) BPPT, guna memadamkan titik api akibat kebakaran hutan dan lahan," papar Hammam di Pekanbaru, Senin (16/9)

Ia menyebut TMC merupakan langkah penting, terkait pengurangan risiko bencana karhutla. "Dengan pelaksanaan hujan buatan ini, kami juga berupaya melakukan manajemen mitigasi bencana, melalui solusi teknologi modifikasi cuaca," jelasnya.

Dibandingkan dengan provinsi yang tidak melakukan TMC, pelaksanaan TMC untuk karhutla di Riau disebut Hammam, mampu menekan hotspot. "Namun dengan adanya peningkatan eskalasi pada beberapa hari terakhir ini, maka masih ada upaya bersama yang harus diperbaiki," jelasnya.

Operasi TMC terang Hammam, mampu menghasilkan air dalam jumlah yang sangat banyak. Hingga jutaan meter kubik perhari jika dilakukan pada saat yang tepat.

"Namun ini tergantung dari ketersediaan awan. Oleh karena itu pelaksanaanya harus terencana dengan baik, serta memerhatikan level air gambut dan keberadaan awan," paparnya.

Untuk bisa melakukan peran penanganan karhutla dengan optimal, Hammam meminta agar BPPT diberikan penugasan nasional dan memiliki independensi melakukan operasi TMC yang berkelanjutan. "Agar operasi TMC dapat dilakukan secara berkelanjutan, kami juga butuh didukung oleh anggaran, peralatan utama yakni pesawat, dan kesiapan sumberdaya manusia, mulai dari perekayasa, peneliti, dan pelitkayasa," papar Hammam.

Lebih lanjut, Hammam mengatakan, bahwa dalam waktu sebulan ke depan yang masih kering sesuai dengan perkiraan BMKG, BPPT akan terus berupaya melakukan peningkatan efektifitas TMC dengan menambahkan penggunaan upaya Kapur Tohor aktif (CaO) sebagai bahan semai. "Kami akan tingkatkan upaya TMC, dengan upaya Kapur Tohor aktif (CaO) sebagai bahan semai, disemai pagi hari untuk meningkatkan kualitas udara yang memudahkan pertumbuhan awan. Setelah awan tumbuh baru disemai dengan NaCl pada siang hingga sore," jelasnya.

Hammam mengharapkan, TMC atau modifikasi cuaca harus dilakukan secara sistemik. Kontrol terhadap kandungan air lahan gambut baik berupa kelembapan gambut maupun tinggi muka air gambut harus selalu terkendali, baik melalui sistem informasi, penyebaran sensor IOT, dan integrasi big data lahan gambut.

"Oleh karena itu, keterpaduan kegiatan monitoring kandungan air lahan gambut, pembangunan bendung-bendung di area gambut, serta pengisian atau pembasahan air di lahan gambut baik melalui cara-cara manual seperti dengan pompa maupun cara modifikasi cuaca harus dilakukan secara sistemik," tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement