REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil menganggap darurat asap yang terjadi di Sumatra dan Kalimantan akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) merupakan kejahatan ekosida. Pemerintah dianggap lambat menuntaskan kabut asap di wilayah tersebut hingga mengkhawatirkan nyawa manusia.
Manajer kampanye Pangan, Air, & Ekosistem Esensial, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Wahyu A Perdana menyayangkan pemerintah selalu berupaya menyangkal kasus karhutla. Bahkan para Menteri pemerintahan Jokowi malah cenderung memberikan stigma negatif terhadap masyarakat adat, masyarakat lokal, dan peladang sebagai penyebab kebakaran. Menurutnya, tuduhan tersebut hanya untuk menutupi kegagalan dalam melakukan pencegahan terhadap kejahatan korporasi.
"Padahal korporasi yang selama ini justru kami nilai sebagai pihak yang harus bertanggungjawab, selain negara," katanya dalam pernyataan sikap bersama Koalisi Masyarakat Sipil, Senin (16/9).
Wahyu juga menganggap penanganan tanggap darurat dinilai lamban. Akibatnya korban terus berjatuhan, khususnya kelompok rentan seperti bayi, balita dan anak-anak, perempuan, dan lansia yang paling terdampak dari kondisi darurat asap ini.
"Kami menilai bahwa kabut asap ini bukan lagi sebagai kejahatan biasa, melainkan sebuah kejahatan ekosida dan kejahatan lintas batas dengan unsur-unsur yang terpenuhi yakni dampak yang meluas, jangka panjang dan tingkat keparahan yang tinggi," ujarnya.
Atas dasar itu, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Presiden Joko Widodo segera mengambil langkah tanggap darurat dengan menurunkan tenaga medis dan memastikan semua layanan kesehatan bagi warga yang terdampak kabut asap hingga ke pelosok-pelosok. Pemerintah juga diminta menyediakan seluruh fasilitas kesehatan dan pelayanan psikis secara cepat dan gratis, menyediakan tempat-tempat pengungsian dengan kelengkapan kesehatan yang dibutuhkan, khususnya bagi kelompok rentan.
"Selain itu pasca kebakaran hutan melakukan pemulihan kesehatan fisik maupun psikologis secara kontinyu bagi masyarakat terdampak. Membangun sistem respon cepat untuk penanganan kebakaran hutan dan lahan, termasuk evakuasi masyarakat, terutama perempuan, anak-anak, dan lansia ke lokasi aman," ujar Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Beni Wijaya.
Beni menekankan bahwa kebakaran hutan di Sumatra dan Kalimantan sudah menjadi hal yang sering terjadi. Sehingga perlu dibangun mekanisme dan sistem respons cepat bila terdeteksi adanya titik api.
"Agar ada penanganan sebelum api menjadi semakin meluas," ucap Beni.
Sepanjang 2019 hingga 7 September setidaknya tercatat 19 ribu lebih titik api. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 15 September 2019, ada 2.862 titik api dengan total luas lahan yang terbakar 328.724 hektare. Kondisi tersebut semakin diperparah karena kebakaran terjadi di lahan gambut, konsesi perkebunan monokultur skala besar (sawit dan hutan tanaman industri). Dalam sepekan terakhir, kondisi di wilayah Kalimantan dan sebagian Sumatera menunjukkan situasi darurat asap.