Jumat 13 Sep 2019 05:07 WIB

Mengenang 35 Tahun Tragedi Tanjung Priok

Meski sudah 35 tahun tragedi Tanjung Priok sampai kini masih misteri

Suasana kerusuhan pada tragedi Tanjung Priok Septeber 1994.
Foto:

Keesokan harinya, kejadian di mushola tersebut menjadi pembicaraan warga. Namun tak ada penyelesaian dari aparat terhadap masalah ini. Tanggal 10 September 1984, Hermanu dan rekannya, diketahui keberadaannya oleh jemaah As-Sa’adah, yaitu Syarifudin Rambe dan Syofwan. Kemudian terjadi perdebatan diantara mereka. Mereka kemudian melakukan pembicaraan di Pos RW 05. Ketika pembicaraan tengah berlangsung, tiba-tiba massa di luar sudah ramai. Menurut Hermanu, saat itu, massa berusaha menyerang dirinya.

Namun karena tak dapat menggapai dirinya, massa di luar yang tak terkait dengan masalah ini kemudian merusak dan membakar sepeda motor Koramil. Anggota Polres kemudian datang dan menangkap empat orang, yaitu Syofwan, Syarifudin Rambe, Ahmad Sahi dan Mohammad Noor, yang dituduh membakar motor tersebut. Mohammad Noor sendiri membantah telah membakar motor tersebut, ia mengaku hanya memukul motor tersebut. Anehnya, aksi-aksi provokatif Hermanu malah tidak ditindaklanjuti oleh aparat.

Tanggal 11 September, warga meminta tokoh masyarakat setempat, Amir Biki untuk meminta aparat membebaskan keempat orang yang ditangkap. Amir Biki, muslim yang taat, dan ditokohkan oleh masyarakat Tanjung Priok, memang menjadi orang yang biasa berhubungan dengan pihak militer (pemerintah). Amir Biki juga mengenal H.M.A. Sampurna, yaitu Asintel (Asisten Intel) Kodam Jaya. H.M.A. Sampurna mengaku dihubungi Amir Biki untuk membebaskan keempat orang tersebut yang ditahan di Polres atau Kodim. Namun permintaan tersebut ditampik oleh H.M.A. Sampurna.

Tanggal 12 September, sebuah pengajian besar, yang memang sudah direncanakan jauh-jauh hari diadakan di Jalan Sindang, lorong 102. Pengajian itu sendiri memang dihadiri oleh Amir Biki, namun ia bukan orang yang direncanakan untuk berceramah di pengajian tersebut, karena Amir Biki memang bukan mubaligh. Pengajian tersebut diisi oleh beberapa ustadz, yaitu, Syarifin Maloko, Salim Kadar, M Nasir (bukan M. Natsir tokoh Masyumi dan DDII), dan Ratono.

Acara pengajian yang dimulai pukul 20.00 itu kemudian berujung memanas. Masyarakat yang masih tak puas dengan penyelesaian kejadian di As-Sa’adah. Pukul 22.30, Amir Biki kemudian didaulat untuk berbicara di atas panggung.Di depan jama’ah yang berjumlah ribuan, Amir Biki mengajak jama’ah untuk menuntut pembebasan keempat orang yang ditangkap. Ia kemudian berkata, “Kita tunggu sampai jam 23.00 WIB, apabila keempat orang ini tidak dibebaskan juga, maka kita semua ke Kodim! Malam ini akan ada banjir darah. Karena saya tahu moncong senjata TNI telah diarahkan ke kepala saya!”

Perkataan Amir Biki berhenti sejenak, kemudian dilanjutkan dengan, “Apabila saya meninggal malam ini, saya minta kepada jamaah untuk mengusung jenazah saya keliling Jakarta!” Amir Biki juga mengingatkan, “Jangan mengecewakan saya, saya peringatkan bahwa yang membuat kegaduhan itu bukan jamaah kita,” serunya.

Ia kemudian memimpin massa untuk menuju ke Kodim. Namun tujuannya bukan untuk melawan aparat, apalagi memberontak. Amir Biki mengatakan pada kawannya Husain Safe saat itu, ketika Husein menolak ikut jika tujuan mereka untuk memberontak. “Bukan untuk itu, dan saya minta jangan ada yang melawan aparat karena itu bukan tujuan kita!”, tegas Amir Biki.[10]

Massa pun bergerak menuju Kodim. Di jalan mereka bertakbir, sambil membawa bendera hijau bertuliskan kalimat Tauhid. Tidak ada aksi anarkis sepanjang jalan. Namun belum sampai Kodim, persis di depan gerja di samping Mapolres Jakarta Utara, massa terhenti. Mereka dihadang aparat tentara, yang jumlahnya tak banyak saat itu, hanya belasan orang. Barisan massa di depan berhenti, namun mereka terdesak untuk maju oleh massa yang ada di belakang. Saat rombongan yang berada di depan barisan berusaha menahan massa untuk berhenti, tiba-tiba terdengar bunyi tembakan. Massa pun panik, berhamburan. Tembakan kemudian terus menyusul, senapan menyalak menghujani massa, tanpa henti 10 hingga 15 menit.[11] Orang-orang bertumbangan, berteriak, Allaahu Akbar-Allaahu Akbar menggema. Husain Safe yang saat itu berada di barisan depan mengisahkan kejadian brutal tersebut,

“Detik-detik berlalu begitu mencekam. Tak lama kemudian aparat-aparat yang menembak bergerak mundur agak jauh dari saya sambil terus menembak. Mereka mencoba melihat lebih jauh ke belakang, ke arah rombongan lain yang menuju kami. Ternyata itu adalah rombongan Amir Biki. Saya dengar ada yang berteriak bahwa itu adalah Amir Biki. Disusul lagi teriakan dari anggota pasukan lainnya, “Habisi saja!!”[12]

Amir Biki pun tumbang. Begitu pula massa lainnya. Mayat-mayat bergelimpangan di antara orang-orang yang terkapar terluka, di jalan dan di selokan. Tentara terus memburu massa dalam kegelapan akibat lampu dimatikan secara serentak. Kelak diketahui, lampu-lampu itu padam akibat dimatikan langsung dari pusat oleh PLN. Tentara memburu siapa saja. Orang yang lari ditembak hingga rubuh. Orang-orang yang tiarap dilindas truk tentara yang datang sekonyong-konyong. Orang-orang yang bersembunyi di selokan mendengar jelas jeritan-jeritan orang terlindas dan suara tulang remuk. Mereka terus menembaki bahkan dari atas truk. Setelah 10 hingga 15 menit, tembakan-tembakan kemudian berhenti.

Aparat itu memeriksa siapapun yang tergeletak. Mencari yang masih hidup. Beberapa orang yang terluka namun masih hidup, berpura-pura mati. Termasuk Yusron Zaenuri. Ia berpura-pura mati. Mayat-mayat kemudian ditumpuk dan dilempar ke atas truk. Yusron Zaenuri, dilempar ke truk bertumpuk-tumpuk dengan mayat. Dua mobil truk besar penuh dengan mayat. Tak lama kemudian datang ambulans dan mobil pemadam kebakaran, membersihkan jalan dari genangan darah. Ratusan orang menjadi korban.

Namun, pemerintah memberikan versi berbeda. Panglima ABRI Jenderal L.B. Moerdani yang meninjau lokasi tak lama setelah peristiwa keji tersebut menyatakan hanya sembilan yang tewas dan 53 luka-luka. Menurut versi Pemerintah, massa bertindak anarkis, meski para korban yang bersaksi menolak pernyataan tersebut.. L.B. Moerdani beserta Pangdam Jaya Mayjen Try Sutrisno juga mengunjungi RSPAD, lokasi tempat korban luka-luka dirawat seadanya.

LB Moerdani dan Try Sutrisno memberikan keterangan mengenai peristiwa Tanjung Priok. Sumber foto: Pusat Studi dan Pengembangan Informasi (PSPI). 1998. Tanjung Priok Berdarah Tanggung Jawab Siapa? Kumpulan Fakta dan Data. Jakarta: Gema Insani Press

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement