REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI), Indriyanto Seno Adji, mengatakan inisiatif DPR atas revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) tidak semata-mata pendekatan efek jera kepada para pelaku. Dari perjalanan kasus-kasus korupsi, metode efek jera memunculkan persoalan.
"Dari perjalanan kasus-kasus korupsi, pola dan cara penindakan dengan pendekatan efek jera tidak memberikan manfaaat pengembalian optimal keuangan negara, karena itu filosofi pencegahan dengan rehabilitasinya menjadi basis yang utama," katanya di Jakarta, Sabtu (7/9).
Ia menerangkan pemberantasan korupsi dapat dilakukan dengan metode restorative justice (keadilan restoratif) ataukah deterrent effect (efek jera). Ia menambahkan polemik revisi UU KPK hanya terkait dua metode tersebut.
Ia mengatakan inisiatif DPR atas revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) memiliki pendekatan filosofi keadilan restoratif. Dalam revisi tersebut, DPR RI menghendaki adanya suatu rehabilitasi sistem pemidanaan.
"Polemik revisi UU KPK hanyalah soal metode pendekatan saja. Revisi harus dipahami dari sisi restorative justice (keadilan restoratif) ataukah deterrent effect (efek jera)," kata Indriyanto.
Ia memahami pelaksanaan UU KPK setelah 17 tahun berjalan memerlukan evaluasi dengan basis penguatan filosofi arah dan tujuan UU ini, yaitu rehabilitasi dengan basis pencegahan. Terlepas setuju atau tidak, lanjut dia, enam poin evaluasi UU KPK merupakan gabungan atas evaluasi pola pencegahan dan penindakan (mixed methods).
Artinya, enam poin evaluasi itu merupakan sesuatu yang wajar dan baik bagi KPK dan pemberantasan korupsi ke depan. "Salah satu evaluasi pasal, misalnya tentang Dewan Pengawas," kata dia.
Menurut dia, usulan dewan pengawas merupakan sesuatu yang wajar. Pada negara demokratis, bentuk auxiliary state body seperti KPK, yang super body, disyaratkan adanya badan pengawas yang independen.
"Lembaga penegakan hukum lain sudah memilikinya, misalnya Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY), Polri dengan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Kejaksaan dengan Komisi Kejaksaan (Komjak)," kata Indriyanto.
Ia juga menilai perkara penghentian penyidikan pun bertujuan untuk memenuhi asas kepastian hukum dan keadilan. Hal ini bisa diterapkan dalam kondisi limitatif dan eksepsional kepada tersangka yang sakit berat.
"Secara medis dinyatakan unfit to stand trial secara permanen (tidak layak diajukan ke pengadilan), maka orang tersebut harus dihentikan penyidikannya," jelasnya.
Menurut Indriyanto, keberatan yang muncul dari masyarakat sipil, aktivis antikorupsi, dan beberapa pengamat, karena ada persepsi dan pola pendekatan yang berbeda. Ia menyebut mereka masih fokus pada pendektan efek jera semata.
"Mixed methods (pendekatan gabungan) oleh DPR ini tanpa menghilangkan pola penindakan KPK dan diapresiasi sebagai usulan inisiatif DPR yang wajar dan prospektif ke depan. Sehingga, ini tidak perlu dicurigai dan tak perlu ada kekhawatiran. Ada mekanisme hukum untuk mencurahkan ketidaksetujuan itu melalui otoritas yudikatif dan tidak perlu mengambil jalan prosesual eksekutif yang tidak menjadi otoritas atas inisiatif revisi UU ini," kata Indriyanto.