Jumat 06 Sep 2019 14:58 WIB

TII: Presiden Sebaiknya Tolak Soal Revisi UU KPK

Presiden sepatutnya memerankan dirinya sebagai penjaga terdepan independensi KPK.

Sekjen Transperancy International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko
Foto: Republika
Sekjen Transperancy International Indonesia (TII) Dadang Trisasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Transparency International Indonesia (TII) mendesak Presiden Joko Widodo untuk menolak pembahasan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Presiden dapat menolak dengan tidak mengirimkan Surat Presiden (Surpres) ke DPR RI.

"Transparency International Indonesia mendesak agar Presiden menolak pembahasan revisi UU KPK dengan tidak mengirimkan Surpres," ucap Sekjen TII Dadang Trisasongko melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat (6/9).

Baca Juga

Menurut dia, Presiden tidak boleh tidak tahu terhadap inisiatif revisi UU KPK tersebut. Selain itu, presiden sudah sepatutnya memerankan dirinya sebagai penjaga terdepan independensi KPK dengan segera memutuskan untuk tidak mengirimkan surat persetujuan ke DPR.

"Situasi ini semakin krusial mengingat sejak ditundanya pembahasan revisi UU KPK pada 2016 silam, pemerintah tidak melakukan kajian evaluasi yang komprehensif terhadap RUU KPK dan juga tidak melakukan sosialisasi ke masyarakat," ucap Dadang.

Selain itu, kata dia, pihaknya juga mendesak agar DPR untuk segera menarik revisi UU KPK yang telah disepakati. "Poin-poin perubahan yang diusulkan sangat berpotensi mengurangi kewenangan dan independensi yang dimiliki KPK saat ini," ucap dia.

Hal itu, kata dia, diperkuat dengan tidak adanya basis kajian mendalam terhadap revisi UU KPK yang diikuti dengan tidak adanya proses yang transparan, akuntabel, dan partisipatif. "Kondisi ini justru akan berdampak buruk bagi penegakan hukum korupsi di Indonesia," kata Dadang.

Sementara Jokowi berharap agar DPR memiliki semangat untuk memperkuat KPK saat mengusulkan rencana revisi UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. "Yang jelas saya kira kita harapkan DPR mempunyai semangat yang sama untuk memperkuat KPK," kata Presiden Jokowi di Solo, Jumat.

Rapat paripurna DPR pada Kamis (5/9) menyetujui usulan revisi UU No 30 tahun 2002 tentang KPK sebagai usulan badan legislatif (baleg) DPR. Padahal, ada sembilan persoalan dalam rancangan UU tersebut yang bersiko untuk melumpuhkan kinerja KPK.

Namun, Jokowi mengaku masih belum melihat rancangan revisi UU KPK tersebut. "Saya melihat dulu yang direvisi apa. Saya belum lihat, kalau sudah ke Jakarta, yang direvisi apa, materinya apa, saya harus tahu dulu, baru saya bisa berbicara. Yang pasti seperti kemarin saya sampaikan, KPK bekerja sangat baik dalam rangka pemberantasan korupsi," kata Presiden.

 

Sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan terdapat sembilan persoalan di draf Rancangan Undang-Undang KPK yang berisiko melumpuhkan kerja KPK. Persoalan, yakni independensi KPK terancam, penyadapan dipersulit dan dibatasi, pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR, sumber penyelidik dan penyidik yang dibatasi, penuntutan perkara korupsi harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung.

"Selanjutnya, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria, kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas, kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan, dan kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas," ucap Agus.

Terkait hal itu, kata Agus, KPK pun menolak revisi UU KPK tersebut. "Apalagi jika mencermati materi muatan RUU KPK yang beredar, justru rentan melumpuhkan fungsi-fungsi KPK sebagai lembaga independen pemberantas korupsi," kata Agus.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement