REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi I Fraksi PDI Perjuangan Effendi Simbolon menyayangkan adanya pembatasan terhadap Warga Negara Asing (WNA) untuk bisa masuk ke Papua dan Papua Barat. Menurutnya kebijakan pembatasan WNA tersebut tidak perlu dilakukan.
"Nggak perlu lah, nggak perlu itu kita kan caranya bukan hanya secara fisik, tegas, ada cara diplomasi cara intelijen, harus extraordinari," kata Effendi kepada wartawan, Rabu (4/9).
Ia menilai hal yang diperlu dibatasi bukan kehadiran fisik seseorang, melainkan pelibatan konspirasi internasional memang sudah sangat luar biasa. "Kita jangan pernah mengabaikan soal Papua," ujarnya.
Selain itu, ia menambahkan, hal yang perlu dilakukan pemerintah bukan pembatasan WNA, melainkan kontrol dalam memperketat dalam memberikan persetujuan izin masuk Indonesia. "Pemberian atau tidak diberinya approval untuk visa dibebaskan, akhirnya semua warga dunia boleh masuk, boleh keluar, kan nggak membuat terkontrol jadinya, itu evaluasi ulang pemerintah," tuturnya.
Terpisah, Menteri Koordinator Pokitik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menegaskan warga negara asing (WNA) tidak dilarang datang ke Papua, melainkan hanya dibatasi. "(Pembatasan) Semua itu kan ada kepentingannya. Bukan pelarangan ya, pembatasan," katanya, saat konferensi pers kondisi Papua dan Papua Barat, di Jakarta, Rabu.
Menko Polhukam Wiranto (ANTARA)
Menurut dia, langkah pembatasan WNA itu untuk mencegah masuknya provokator yang ingin memperkeruh suasana di Papua dan Papua Barat yang kian kondusif dan demi keselamatan mereka sendiri. Dengan pembatasan itu, kata dia, warga asing yang ingin ke Papua harus melalui persyaratan-persyaratan tertentu dan melewati skrining.
"Saya tanya apakah Anda bisa membedakan ini wisatawan atau provokator? Enggak bisa kan. Nah, makanya supaya nanti tidak ada yang ikut ke sana, nimbrung ke sana, maka ada pembatasan," katanya.
Jika situasi di Papua dan Papua Barat sudah benar-benar kondusif seperti sediakala, kata dia, warga asing justru didorong untuk berwisata ke Papua. "Nanti kalau sudah kondusif, sudah damai, kita suruh masuk. Ayo ke Raja Ampat sana, devisa masuk. Dulu juga nggak ada pembatasan. Ya, kita minta maaf, tapi itu harus kita lakukan," katanya.
Mengenai deportasi terhadap empat WNA asal Australia, ia mengatakan belum ada bukti cukup keterlibatan mereka dengan kerusuhan di Papua sehingga hanya mereka dideportasi. "Kalau ada bukti yang cukup, kita pasti hukum dengan hukuman kita, UU kita, karena mereka kemarin ikut nimbrung ke situ. Ditanya, kok foto-foto? Saya kira pawai budaya. Ini bukan pawai budaya, ini demonstrasi, anarkis," katanya.
Namun, kata Wiranto, jika mereka membawa dokumen-dokumen, seperti bendera bintang kejora, dan sebagainya pasti akan diproses dengan perundang-undangan yang berlaku.
Sebelumnya, Kantor Imigrasi Sorong telah mendeportasi empat warga negara Australia karena diduga ikut dalam aksi Papua Merdeka di Sorong, Papua Barat. Keempat WN Australia tersebut adalah Baxter Tom (37), Davidson Cheryl Melinda (36), Hellyer Danielle Joy (31), dan Cobbold Ruth Irene (25).