Rabu 04 Sep 2019 01:17 WIB

Pasal Penghinaan Presiden: Dulu Delik Umum, Kini Delik Aduan

Pernah dibatalkan MK, pasal penghinaan presiden kembali dimasukkan DPR dalam KUHP.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Andri Saubani
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) didampingi Ibu Negara Iriana (kanan) bersama Seskab Pramono Anung (ketiga kanan) bersepeda bersama di Komplek Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, Jumat (30/8/2019).
Foto: Antara/Aloysius Jarot Nugroho
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) didampingi Ibu Negara Iriana (kanan) bersama Seskab Pramono Anung (ketiga kanan) bersepeda bersama di Komplek Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, Jumat (30/8/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Antara

Pasal penghinaan terhadap Presiden diperkirakan bakal hidup kembali lewat Rancangan Kitab Hukum Acara Pidaha (RKUHP) yang segera disahkan DPR. Padahal, sebelumnya pasal tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca Juga

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan menanggapi terkait pro kontra dihidupkannya kembali pasal penghinaan presiden tersebut. "Dalam RKUHP, pasal penghinaan Presiden dan wakil presiden masuk delik aduan yang dikuasakan oleh presiden dan wakil presiden," kata Masinton kepada Republika, Selasa (3/9).

Hal tersebut, menurutnya berbeda dengan KUHP lama yang pasal penghinaan Presiden sebelumnya masuk ke dalam delik umum. Selain Masinton, hal serupa juga disampaikan anggota komisi III lainnya dari Fraksi Partai Nasdem Teuku Taufiqulhadi.

"Itu sudah berbeda sama sekali," kata Taufiqulhadi.

Taufiqulhadi menambahkan, yang dibatalkan MK adalah delik umum. Namun, sekarang aturan yang diatur dalam pasal penghinaan Presiden sudah diubah menjadi delik aduan mutlak.

Draf terakhir RKUHP memang tetap mempertahankan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Namun, penghinaan Presiden dan Wakil Presiden berupa delik aduan yang dilakukan langsung oleh Presiden dan Wakil Presiden.

Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden sendiri diatur dalam Pasal 218 dan 219. Pasal 218 ayat 1 menyebutkan, "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV."

Sedangkan, Pasal 218 ayat dua berbunyi, "Suatu perbuatan tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan itu dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri."

Sedangkan di Pasal 219, "Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman, yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV."

Keharusan delik aduan dalam pidana penghinaan presiden disyaratkan dalam Pasal 220. Ayat satu pasal tersebut berbunyi, tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.

"Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan oleh kuasa Presiden atau Wakil Presiden," demikian bunyi ayat dua Pasal 220.

Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Indriyanto Seno Adji berpendapat, munculnya rumusan pasal penghinaan pada RKUHP tidak perlu dikhawatirkan. Sebab, delik tersebut menghindari politisasi hukum.

"Format pasal penghinaan tersebut sangat moderat dan masih dalam batasan dan dinamika prinsip hukum pidana," kata Indriyanto dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Sabtu (31/8).

Bahkan, pada negara-negara dengan sistem demokrasi yang liberal, baik sistem hukum pidana bercorak hukum adat (common law) maupun perdata (civil law), selalu dicantumkan 'Guarding Law for Protection of State' (menjaga hukum untuk melindungi negara). Ia mengatakan, hukum itu adalah ketentuan tentang perlindungan terhadap simbol-simbol kenegaraan, termasuk kepala negara.

"Hanya, yang berbeda adalah tentang tata pola penempatan, yakni pada bab keamanan negara (security of state) atau pada bab ketertiban umum (public order)," kata wakil ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu.

Menurut Indriyanto, pemerintah sudah menjalankan amanat putusan MK. Caranya, yaitu memperbaiki redaksional delik sehingga jauh dari makna haatzaai artikelen (pasal penabur kebencian) yang sifatnya tidak demokratis.

Secara hukum pidana, kata Indriyanto, tim RKUHP sudah benar merumuskan delik dengan tidak mencantumkan unsur ridicule (cemooh), hatred (kebencian), dan contempt (penghinaan), yang bersifat tidak demokratis. Sehingga, pernyataan-pernyataan yang dilakukan dengan cara keras tetapi objektif, zakelijk dan konstruktif tidak dijadikan dasar pemidanaan.

“Karena itu, rumusan tim terhadap ketentuan menyerang kehormatan, martabat, dan harkat Presiden tetap berbasis delik yang demokratis dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan HAM. Bahkan, dirumuskan pula sebagai delik aduan, sehingga bisa terhindar dari politisasi hukum," ujarnya.

Dengan demikian, ujar Indriyanto, rumusan pasal oleh tim RKUHP sudah tepat dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan HAM. "Sehingga, rumusan pasal itu tetap menjaga hak-hak warga negara dalam menyampaikan pendapat secara bebas, walaupun dipahami juga bahwa tidak ada suatu legitimasi adanya kebebasan absolut secara universal," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement