Selasa 03 Sep 2019 16:11 WIB

Komnas HAM Keberatan Tindak Pidana Khusus Masuk RKHUP

Komnas HAM menilai tindak pidana khusus semestinya diatur dalam aturan khusus.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam memaparkan hasil survei penilaian masyarakat terhadap upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (16/11). Data Komnas HAM mancatat sedikitnya terdapat 101 pelanggaran ras dan etnis dalam rentang tahun 2011-2018.
Foto: Republika/Prayogi
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam memaparkan hasil survei penilaian masyarakat terhadap upaya penghapusan diskriminasi ras dan etnis di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (16/11). Data Komnas HAM mancatat sedikitnya terdapat 101 pelanggaran ras dan etnis dalam rentang tahun 2011-2018.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) keberatan apabila pengaturan eksistensi tindak pidana khusus dimasukkan dalam RUU KUHP. Komnas HAM menilai tindak pidana khusus semestinya diatur dalam aturan yang khusus pula.

"Untuk tindak pidana khusus, Komnas HAM punya kepentingan besar kalau pelanggaran HAM berat masuk RKUHP. Posisi kami tidak kepingin ini masuk dalam RKUHP," tutur Komisioner Komnas HAM Choirul Anam di Jakarta, Selasa (3/9).

Baca Juga

Tindak pidana khusus termasuk tindakan yang digolongkan dalam kejahatan luar biasa. Untuk itu, apabila dimasukkan dalam delik umum maka akan berimplikasi pada banyaknya asas tertentu yang sulit diberlakukan.

Ia mencontohkan terdapat kontradiksi selama ini pelanggaran HAM berat tidak memiliki masa kedaluwarsa. Sementara, apabila diatur dalam KUHP terdapat batas waktu kedaluwarsa.

Selama ini dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, sejumlah kasus pelanggaran HAM berat masih belum diselesaikan. Ia pun khawatir apbila menggunakan RKUHP akan makin berat untuk diselesaikan.

Anam khawatir pasal tindak pidana berat terhadap HAM dalam RKUHP akan tidak mengenal asas retroaktif sehingga mereduksi pelanggaran HAM berat yang terjadi. Titik perubahan signifikan lainnya adalah dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 menyebut penganiayaan dalam bentuk kejahatan, sementara dalam RKUHP diganti dengan persekusi.

Menurut Anam, kata persekusi lebih tepat daripada penganiayaan sesuai konteks di Indonesia. Namun, menurut dia, masalah akan muncul nantinya pelaku pelanggaran HAM berat masuk dalam bentuk persekusi sesuai RKUHP atau UU Nomor 26 Tahun 2000.

"Menempatkan pergantian penganiayaan menjadi persekusi harusnya bukan RKUHP, tetapi revisi UU Nomor 26, sekaligus Komnas diberi kewenangan lebih," ucap Anam.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement