REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Wiranto menegaskan bahwa i telah memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI agar aparat keamanan tidak melakukan tindakan represif di Papua dan Papua Barat.
Tindakan represif yang dimaksud berkaitan dengan penanganan aksi massa yang merebak di sejumlah kota di Papua dan Papua Barat sejak pekan lalu.
"Bukan nembakin rakyat, tapi menjaga rakyat yang demo jangan sampai anarkis. Kami sudah perintahkan jangan anarkis. Jangan pakai peluru tajam. Pakai cara-cara persuasif, edukatif, kompromis. Ajak mereka untuk sadar," kata Wiranto usai menemui sejumlah tokoh Papua dan Papua Barat di Jakarta, Jumat (30/8).
Meski mencegah penanganan secara represif, Wiranto mengingatkan bahwa aparat keamanan pun memiliki tanggung jawab terhadap keluarga yang ia tinggalkan di kampung halaman. Ia menyayangkan bila tindakan yang dilakukan para massa unjuk rasa atau kelompok bersenjata justru membuat jatuhnya korban dari TNI atau Polri.
"Tapi kalau kemudian dibacok, dipanah, diparang, dia punya keluarga, punya anak-anak. Coba, mari kita sadar untuk apa kita bunuh-bunuhan hanya karena tersinggung tadi. Dan itu sudah diselesaikan dengan cara-cara hukum," kata Wiranto.
Soal pemicu ketersinggungan rakyat Papua dan Papua Barat, terkait insiden di Surabaya dua pekan lalu, Wiranto meyakinkan bahwa kepolisian dan TNI terus mengusut pihak-pihak yang terindikasi melontarkan ujaran rasial.
Wiranto pun menyebutkan bahwa proses hukum untuk anggota militer Kodam Brawijaya terus berlanjut dan menghasilkan lima orang diskorsing.
"Termasuk Danramil seorang mayor. Satu Babinsa, Danramil dan Babinsa lanjut ke tahap pemeriksaan selanjutnya. Karena diduga tindakan merugikan disiplin TNI. Dari masy sipil, tersangka saat ini sudah ditangani Polda Jatim," kata Wiranto.
Tersangka dari warga sipil dikenai pelanggaran UU ITE, yakni penghasutan dan ujaran kebencian.