Jumat 30 Aug 2019 15:38 WIB

TP4 dan Kekhawatiran yang Terkonfirmasi

Terbuka pula kemungkinan dimana APH yang justru bertindak sebagai pelaku aktif.

Richo Andi Wibowo
Foto: dokpri
Richo Andi Wibowo

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Richo Andi Wibowo, Dosen Hukum Administrasi Negara UGM; Peneliti Isu Kontrak Pemerintah

 

The easy way out usually leads back in (Peter Senge, 1990)

Baru-baru ini diberitakan bahwa KPK telah melakukan OTT di Yogyakarta, wilayah yang selama ini dipersepsikan relatif bersih jika dibandingkan daerah lain. Salah satu terduganya adalah jaksa yang bertugas di Tim Pengawalan dan Pengaman Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D). 

Indikasi awal menunjukkan bahwa oknum jaksa tersebut menerima suap agar 'tutup mata' atau bahkan berpartisipasi dalam penyimpangan yang telah/akan terjadi.

Banyak pihak tentu kaget dengan kejadian ini. Ibarat peribahasa, ini layaknya pagar makan tanaman. Namun, tindakan 'main mata' seperti ini tidak sepenuhnya mengejutkan. Sebelumnya pernah ada kasus yang mirip dan mengindikasikan bahwa tindakan ilegal seperti ini justru tampak telah dibakukan. 

Ditemukan kasus dimana setoran ilegal ke aparat penegak hukum (APH) sudah 'disisipkan' ke dalam besaran anggaran. Jika kasusnya adalah tentang kontrak pemerintah, maka pihak swasta yang akan di-setting untuk memenangkan kontrak juga akan diminat ikut mendanai setoran ini. 

Hal ini misalnya terkonfirmasi pada OTT kasus korupsi proyek Balai Wilayah Sungai Sumatera (BWSS) VIII. APH dianggarkan untuk mendapat jatah 1,5 hingga 2 persen dari jumlah anggaran proyek. 

Godaan atau tekanan? 

Kejadian di atas tidaklah selalu berarti bahwa APH berposisi pasif sebagai pihak yang digoda untuk menerima suap. Terbuka pula kemungkinan dimana APH yang justru bertindak sebagai pelaku aktif. 

Ketika penulis melakukan penelitian ke lapangan, beberapa narasumber yang penulis temui berkeluh kesah bahwa terkadang mereka sudah berkomitmen untuk bersih. Namun justru APH-lah yang menekan mereka. 

APH, baik itu oknum kejaksaan atau kepolisian, meminta agar rekanan tertentu yang terafiliasi dengan mereka untuk dimenangkan dalam proses tender yang akan berlangsung. Jika birokrat tersebut tidak mau bekerja sama, maka oknum APH mengancam mereka dengan menuding bahwa ada proses tender yang telah dilakukan oleh birokrat tersebut yang bermasalah (lihat juga temuan serupa oleh Klinken and Aspinall, 2011).  Atau jika tidak, maka oknum APH akan berupaya untuk mencari cari alasan untuk menekan birokrat tersebut.

Sebagian birokrat kerap menyerah dengan tekanan ini. Mereka tersandera dengan dosa-dosa mereka sebelumnya. Sedangkan sebagian birokrat yang merasa bersih ada yang berani menolak tekanan ini. 

Namun urusan belum tentu langsung selesai, karena tekanan oknum APH dapat terus berlanjut. APH kerap bolak-balik memanggil pelaku pengadaan untuk pemeriksaan. Namun bukan untuk benar-benar diperiksa, melainkan untuk diganggu dan dijatuhkan mentalnya. 

Misalnya, beberapa birokrat mengaku ketika mereka memenuhi panggilan oknum APH, mereka justru 'dihukum' dengan cara ditinggal di ruang pemeriksaan untuk waktu berjam-jam tanpa ada kejelasan. Lalu ketika oknum APH datang, mereka hanya ditanyai hal remeh, lalu diperbolehkan pulang. Keganjilan ini dilakukan oleh oknum APH berulang-ulang. 

Akibat solusi permukaan 

Pertanyaan mendasar yang relevan adalah, mengapa APH, termasuk mereka yang ditugaskan di TP4,  tidak selalu tampak menjadi bagian dari solusi, dan malah terlihat menjadi bagian dari masalah? Hemat penulis ini karena pemerintah memberikan solusi permukaan untuk sebuah masalah yang pada dasarnya kompleks. 

Relevan untuk menyadari bahwa permasalahan hukum dapat diklasifikasikan menjadi tiga strata (Haq, 2006), yakni: (i) symptom (efek-efek yang tidak diharapkan yang terjadi di level permukaan), (ii) core problem (masalah yang diakibatkan oleh struktur dan substansi hukum); dan (iii) root cause (masalah yang disebabkan oleh hal-hal yang filosofis dan konseptual). 

Masalah faktual yang terjadi di lapangan setidaknya masuk ke dalam kategori (ii). Sayangnya, pemerintah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan memberikan solusi yang bersifat kategori (i); dengan membentuk TP4. 

Relevan untuk mengingat bahwa tim ini dibentuk pasca lahirnya Inpres No 7/2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, serta setelah pidato Presiden Jokowi pada upacara hari bakti Adhyaksa di tahun 2015. Kala itu, Jokowi menyinggung tentang lambannya penyerapan anggaran karena banyak birokrat takut mengambil kebijakan.

Kejaksaan kemudian membentuk TP4 untuk mendampingi pemerintah dalam proses pengadaan barang/jasa atau proyek strategis lainnya agar tidak terjerumus korupsi. Selain itu agar terobosan kebijakan yang diambil oleh birokrat tidak akan berujung pidana.

Padahal, masalah riilnya adalah masalah kategori (ii). Lambannya penyerapan anggaran terjadi karena chaos dan ketakutan yang eksesif yang terjadi di kalangan birokrat. Ini diakibatkan karena maraknya kasus-kasus pengadaan yang sejatinya adalah kasus perdata dan/atau administrasi, namun oleh APH dikualifikasi sebagai kasus pidana korupsi (Wibowo, 2016).

Boleh jadi, awal peristiwanya adalah karena penegak hukum gamang dalam menempatkan garis batas (demarkasi) mana kasus pidana, mana kasus perdata, dan mana kasus hukum administrasi. Kebingungan ini dipicu oleh redaksi Pasal 2 dan 3 UU Tipikor yang memungkinkan demarkasi tersebut diinterpretasikan secara fleksibel. 

Beberapa pihak telah mencoba menggugat keberadaan pasal tersebut di MK. Dua putusan MK pun sudah berupaya mereduksi fleksibilitas substansi Pasal ini. Sayangnya, beberapa putusan justru menunjukkan bahwa MA memilih untuk menyimpangi kedua putusan MK di atas. Akibatnya lembaga peradilan di bawah MA beserta APH juga akan enggan beralih untuk menggunakan kerangka pikir yang telah MK tawarkan (Wibowo, 2018). 

Belakangan, bukan tidak mungkin bahwa APH semakin enggan mengikuti pola pikir MK. Oknum APH mungkin justru semakin pro-status quo. Mereka menikmati godaan dan/atau kemampuan untuk melakukan tekanan kepada birokrat bahkan swasta sebagaimana yang dijabarkan di atas. 

Kekhawatiran yang terkonfirmasi

Jika permasalahannya adalah sebagaimana di atas, maka diragukan jika jalan keluar yang diberikan pemerintah hanya dengan membentuk lembaga yang tugasnya bukan untuk menyelesaikan penyebab atas masalah-masalah yang timbul. Memang di atas kertas TP4 seakan jawaban atas kegelisahan birokrat.

Namun birokrat mengatasinya dengan menjaga hubungan baik dengan TP4. Padahal, hubungan baik ini justru dapat merangsang timbulnya moral hazard, dan ancaman ini meningkat mengingat besarnya kemampuan APH untuk menekan ilegal birokrat. 

Maka tidaklah mengejutkan bila solusi membentuk TP4 tidak akan pernah mungkin akan menjadi solusi yang manjur. Cukuplah OTT Yogya menjadi bukti yang mengkonfirmasi kekhawatiran ini.

Kembali ke pernyataan Peter Senge di awal tulisan ini, agaknya TP4 hanya akan membawa kita kembali ke titik awal masalah. Boleh jadi, TP4 justru membawa ke titik yang lebih pelik. Mengingat dampak yang timbul atas TP4 justru melemahkan integritas APH dan mereduksi kepercayaan masyarakat atas sistem penegakan hukum. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement