Jumat 30 Aug 2019 11:16 WIB

Pasal Penghinaan Presiden Dinilai Janggal

Pencantuman pasal penghinaan terhadap presiden itu janggal secara konstitusional.

Rep: Rizkyan adiyudha/ Red: Esthi Maharani
Ilustrasi Penghinaan Presiden
Foto: Republika On Line/Mardiah diah
Ilustrasi Penghinaan Presiden

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Draf terakhir Rencana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tetap mempertahankan pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Pakar Hukum Abdul Fikchar Hadjar menilai jika pencantuman pasal penghinaan terhadap presiden itu janggal secara konstitusional.

"Isi pasal sama sehingga jika diteruskan dapat dipastikan melanggar konstitusi karena MK (Mahkamah Konstitusi) sudah menyatakan pasal itu inkonstitusional," kata Abdul Fikchar Hadjar di Jakarta, Jumat (30/8).

Dia mengatakan, ketentuan penghinaan presiden tidak layak diterapkan di Indonesia. Karena sejarahnya, dulu Belanda membaut pasal tersebut untuk melindungi ratu yang merupakan simbol negara.

Menurut dia, pasal penghinaan presiden tidak tepat bila dihidupkan kembali. Dia mengatakan, presiden itu bisa berganti-ganti orangnya dan penghinaan itu tidak jelas definisinya sehingga bisa disalahgunakan oleh presiden sebagai penguasa.

"Jika ada kritik yang menjurus pada penghinaan terhadap Kepala negara, itu merupakan konsekuensi dari negara demokrasi. Presiden bukan lambang negara demokrasi, karena ia berganti-ganti," jelasnya.

Lebih jauh, dia berpendapat jika kebebasan berekspresi tidak perlu dibatasi, karena hukum menjadi pembatasnya. Artinya, jika ekspresi, pendapat atau pernyataan seseorang merugikan maka orang yang merasa dirugikan dapat menuntut orang yang merugikannya yang bersifat delik aduan dari korban.

"Jika pasal ini tetap ingin dimunculkan dalam RKUHP, dalam konteks demokrasi pasti ada resistensi dari masyarakat, paling tidak akan ada upaya judicial review ke MK," katanya.

Seperti diketahui, penghinaan Presiden dan wakil presiden sendiri diatur dalam Pasal 218 dan 219. Ayat satu Pasal tersebut berbunyi, tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.

Sementara, MK telah membatalkan pasal penghinaan terhadap presiden lewat putusannya pada 2006. Pasal itu dinilai majelis hakim MK bertentangan dengan semangat demokrasi.

Ketua MK kala itu Jimly Asshiddiqie menyebut pencabutan pasal penghinaan presiden/wakil presiden dalam putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 karena tidak sesuai dengan peradaban demokrasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement