REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Presiden RI Kelima Megawati Soekarnoputri menyatakan perdamaian Korea Selatan (Korsel) dan Korea Utara (Korut) harus dilanjutkan dengan upaya lebih keras. Untuk menjaganya, hal itu perlu dilakukan melalui kesepakatan-kesepakatan baru guna mengeratkan kerja sama di berbagai sendi kehidupan.
"Dan sebaiknya perjanjian kerja sama itu disepakati oleh kedua pihak sebagai saudara," ujar Mega saat berbicara dalam DMZ International Forum for Peace Economy di Lotte Hotel, Seoul, Korsel, Kamis (29/8).
Megawati mengaku menitikkan air mata dan merasa bahagia di momen pemimpin Korsel Moon Jae In dan Pemimpin Korut Kim Jong Un bermufakat untuk menandatangani Deklarasi Panmunjom untuk Perdamaian, Kemakmuran, dan Unifikasi Semenanjung Korea. Menyaksikan hal itu Mega berpendapat saat ini sejarah baru telah ditorehkan bukan hanya bagi dua negara, tapi bagi peradaban bangsa Asia.
Namun demikian dia menggarisbawahi bahwa bila langkah perdamaian tercapai, bukan berarti perjuangan mempertahankan hal tersebut berhenti. Menurutnya, perjuangan selanjutnya yang perlu dilakukan adalah mengkristalisasikan perdamaian sebagai alat untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup rakyat.
Mega juga mendorong agar kesepakatan lebih lanjut segera dibicarakan secara musyawarah dan mufakat. Dirinya sangat berharap, setelah perdamaian Semenanjung Korea tercapai maka dapat segera tercapai pula sebuah kesepakatan baru yang diikuti langkah-langkah konkret kerja sama antardua negara.
"Di dalam sebuah kapasitas perdamaian yang sudah dimulai, sebaiknya diberi kesempatan antara pemimpin Korut dan Korsel, berdua sebagai saudara, melakukan pertemuan-pertemuan agar ini bisa dapat dirumuskan lebih baik," kata Mega.
Menurutnya, kerja sama yang dilakukan bukan berlandaskan asas kerja sama ekonomi yang berwatak pragmatis sempit. Tetapi kerja sama luas di berbagai bidang termasuk lingkungan hidup, pendidikan, dan kebudayaan dalam kerangka industrialisasi di era digital.
Dirinya mengusulkan pula agar ada perumusan dan kesepakatan terkait strategi, kebijakan, dan langkah-langkah untuk menyikapi permasalahan global. Misalnya ancaman radikalisme yang menggunakan isu agama dan identitas, fundamentalisme pasar dan isu perang dagang, kejahatan keuangan, narkotika, HIV-AIDS, serta perlindungan terhadap perempuan dan anak dari kekerasan dan ancaman perdagangan manusia.
"Serta yang tak bisa kita lupakan saat ini adalah isu perubahan iklim dan pencemaran lingkungan," pungkasnya.