REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator advokasi BPJS Watch Timboel Siregar mengkritisi besaran kenaikan iuran peserta. Menurut Timboel, sebaiknya pemerintah menaikkan iuran hanya sebesar Rp 10 ribu untuk setiap level kategori mandiri dengan disertakan dengan perbaikan pelayanan.
"Ini akan membuat masyarakat lebih percaya dan pasti mereka akan dengan senang hati membayar iuran," ucapnya, Kamis (29/8).
Menteri Keuangan Sri Mulyani telah mengusulkan kenaikan dalam rapat bersama Komisi XI DPR RI. Iuran program jaminan kesehatan nasional itu diusulkan naik mulai 1 Januari 2020 guna menambal defisit keuangan BPJS yang mencapai Rp 32,8 trilun.
Adapun, usulan kenaikan mencapai 100 persen atau dua kali lipat. Untuk pengguna BPJS kelas Mandiri I naik dari Rp 80 ribu menjadi Rp 160 ribu per peserta per bulan. Lalu, iuran kelas Mandiri II naik dari Rp 59 ribu menjadi Rp 110 ribu. Sedangkan, iuran kelas Mandiri III naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42 ribu.
Rencana menaikkan iuran secara drastis itu, menurut Timboel, tidak akan menjawab persoalan defisit keuangan BPJS Kesehatan. Sebab, kenaikan sebesar itu hanya akan membuat masyarakat semakin enggan membayar iurannya.
Timboel mendasarkan argumentasinya pada data iuran peserta BPJS Kesehatan kategori mandiri per tanggal 30 Juni 2019. Ternyata, kata dia, hanya 50,9 persen dari total 32 juta peserta yang membayar iuran.
"Apalagi setelah dinaikkan. Menteri Keuangan harus baca data lagi," katanya.
Menurut Timboel, defisit keuangan BPJS Kesehatan salah satunya dikarenakan pemerintah tidak menaikkan nilai iuran pada awal 2019. Ia pun menyebut hal itu dilakukan pemerintah lebih karena sedang menghadapi tahun politik.
"Seharusnya kan memang sudah naik tahun 2019. Tapi tidak dinaikkan dan itu menurut saya alasannya sangat politis," kata Timboel.