Kamis 29 Aug 2019 20:47 WIB

Istana: Isu Rasialisme Terkait Papua Bergeser ke Separatisme

Pemerintah memilih membatasi akses internet di Papua untuk meredam situasi.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Andri Saubani
Tenaga Ahli Deputi IV Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Ali Mochtar Ngabalin.
Foto: Republika/Debbie Sutrisno
Tenaga Ahli Deputi IV Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Ali Mochtar Ngabalin.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Istana Kepresidenan mengaku tidak ingin emosional dalam menangani perkembangan situasi di Papua dan Papua Barat. Pemerintah memilih membatasi akses internet di Papua dan Papua Barat untuk meredam situasi di provinsi paling timur di Indonesia ini.

Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Ali Mochtar Ngabalin menyebut, pergerakan massa di Papua dan Papua Barat sudah bergeser dari isu rasialisme ke isu yang bersifat separatisme. Hal ini, ujarnya, diawali dengan merebaknya berita bohong terkait pembunuhan terhadap mahasiswa di Sorong, Papua Barat. Tak hanya itu, pergerakan massa juga disulut oleh hoaks yang menyebut lima orang mahasiswa Papua yang babak belur saat melakukan aksi.

Baca Juga

"Jadi sekarang ini isu rasisme digeser ke isu seperatisme. Bagaimana mungkin bisa urusan negara dalam negeri, pemerintah dalam hal ini bicara dengan Pemda Papua dan masyarakat harus libatkan pihak ketiga," kata Ngabalin di Istana Negara, Kamis (29/8).

Ngabalin menilai, dengan kondisi yang berkembang seperti saat ini maka pemerintah memiliki hak untuk membatasi akses internet demi menjaga stabilitas.   "Kita semua menolak itu, rasis. Tapi ketika mereka masuk ke wilayah-wilayah separatis. Masuk ke wilayah yang melibatkan pihak asing, pihak ketiga, untuk bicara, lain lagi ceritanya," katanya.

Ngabalin juga ikut berkomentar soal aksi demonstrasi di seberang Istana Merdeka pada Rabu (28/8) kemarin, saat para mahasiswa mengibarkan bendera Bintang Kejora. Menurutnya, aksi massa diikuti oleh mahasiswa yang memahami isu, tidak paham isu, hingga oknum yang memang bertugas sebagai provokator. Kondisi seperti inilah yang menurut Ngabalin harus diatasi dengan bijak oleh pemerintah.

"Bisa saja ada yang memang menjadi provokator dan bisa saja mereka tidak mengerti atas apa yang sedang mereka lakukan. Karena itu, polisi khususnya teman-teman di jalanan, kemudian melakukan langkah-langkah yang persuasif juga harus kita berikan penghormatan," katanya.

Kondisi dan situasi Kota Jayapura, Papua, pada Kamis (29/8) pukul 18.30 WIT berangsur pulih, pascaunjuk rasa rusuh yang menimbulkan kerusakan material di berbagai tempat dari Sentani, Abepura, Kotaraja hingga Jayapura. Seperti dilaporkan Antara, sekitar pukul 18.00 WIT massa mulai membubarkan diri setelah dipukul mundur oleh aparat gabungan TNI dan Polri dengan menggunakan gas air mata.

Namun, sebelumnya, massa pengunjuk rasa sempat melakukan pembakaran beberapa gedung dan pertokoan sepanjang Abepura, Entrop dan Jayapura lalu bangunan Kantor Telkomsel dan Pos Jayapura. Bangunan Kantor Bank Indonesia Perwakilan Papua, RS Provita Jayapura, Mall Jayapura, dan pertokoan yang berada di sekitarnya juga dilempari dan dirusak massa pengunjuk rasa.

photo
Petugas kepolisian melepaskan tembakan gas air mata untuk menghalau massa saat berlangsungnya aksi unjuk rasa di Jayapura, Papua, Kamis (29/8/2019).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement