Kamis 29 Aug 2019 00:55 WIB

Psikiater: Predator Anak Lebih Baik Dihukum Seumur Hidup

Menurut psikiater, ketimbang dikebiri, predator anak lebih baik dihukum seumur hidup.

Prosedur kebiri kimia di Rusia dilakukan menggunakan obat depo provera yang berisi progesteron sintetis. Dengan menyuntikkan lebih banyak hormon wanita ke tubuh pria, maka ini akan menurunkan hasrat seksual pria.
Foto: Torange
Prosedur kebiri kimia di Rusia dilakukan menggunakan obat depo provera yang berisi progesteron sintetis. Dengan menyuntikkan lebih banyak hormon wanita ke tubuh pria, maka ini akan menurunkan hasrat seksual pria.

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Hukuman kebiri kimia untuk pelaku pencabulan anak dinilai belum setimpal, menurut hasil Diskusi Publik bertema "Hukuman Kebiri untuk Predator Anak” di Surabaya, Rabu. Berbagai pakar dan tokoh dari berbagai bidang yang hadir dalam diskusi tersebut sepakat predator anak harus dihukum setinggi-tingginya mengingat dampak psikologis pada korbannya diyakini akan terus menghantui seumur hidup.

"Kalau saya lebih sepakat pelaku predator anak dihukum penjara seumur hidup," ujar psikiater dari Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo Surabaya dr Nalini M Agung SpKj.

Baca Juga

Nalini menjelaskan hukuman kebiri kimia hanya melumpuhkan sebagian fisik pelaku. Namun, menurutnya, itu tidak akan mencegah pelaku dari potensi melakukan tindak kejahatan lain.

"Memang benar dengan dihukum kebiri kimia, dia tidak akan melakukan kejahatan pemerkosaan lagi. Tapi dikhawatirkan pelaku nantinya akan mencari lubang melakukan kejahatan atau kekerasan yang lain. Bisa jadi bahkan melakukan pembunuhan," katanya.

Hukuman kebiri kimia menjadi pembahasan pro dan kontra setelah Pengadilan Tinggi Surabaya belum lama lalu menguatkan putusan Pengadilan Negeri Mojokerto, Jawa Timur, memvonis pelaku pencabulan Muhammad Aris dengan hukuman tambahan kebiri kimia, selain hukuman pokok 12 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider enam bulan kurungan. Terpidana berusia 21 tahun, warga Desa Sooko, Kabupaten Mojokerto, itu dinyatakan bersalah melakukan pencabulan terhadap sembilan korban yang masih berusia anak-anak.

Persidangannya menggunakan Pasal 76 D juncto Pasal 81 ayat 2 Undang-undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Nalini menjelaskan, eksekusi hukuman kebiri kimia terhadap terpidana Aris harus didampingi dokter ahli. Persoalannya, menurut Nalini, dokter punya kode etik yang melarang menghilangkan bagian tubuh manusia tanpa alasan medis.

"Aturan itu berlaku bagi profesi dokter secara internasional," ujarnya.

Wakil Ketua Pengurus Wilayah Muhamamdiyah Jawa Timur Nadjib Hamid, dalam diskusi publik yang digelar oleh wartawan dari Komunitas Media Pengadilan dan Kejaksaan (KOMPAK) Surabaya itu, juga menyatakan sepakat predator anak harus dihukum berat yang setimpal. Dia menjelaskan, kalau mengacu pada hukum Islam, hukuman yang setimpal adalah perbuatan pelaku dibalas dengan perlakuan yang sama. Contohnya, pelaku pembunuhan menurut hukum Islam dihukum dengan dibunuh pula.

"Kalau hukuman bagi pelaku zina menurut hukum Islam adalah dirajam, sedangkan hukuman kebiri kimia hanya bersifat sementara terhadap pelaku. Jadi belum setimpal. Beda lagi kalau hukumannya adalah kebiri secara fisik," ucapnya.

Asisten Pidana Umum (Aspidum) Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Asep Maryono menyampaikan terima kasih kepada para tokoh dan pakar yang telah memberi masukan melalui diskusi ini.

"Sementara ini, kami masih menunggu Peraturan Pemerintah dari Undang-undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak yang akan menjadi dasar penyusunan petunjuk teknis eksekusi hukuman kebiri kimia terhadap terpidana Aris," ujarnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement