REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, mengatakan, pelaku yang diduga melakukan tindakan rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya semestinya bisa dijerat dengan pasal pidana diskriminasi ras dan etnis. Dirinya mengingatkan keberadaan UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis Tahun 2008 yang masih berlaku hingga saat ini.
Hal ini disampaikannya saat memberikan paparan dalam rilis survei 'Evaluasi Pemilu Serentak 2019' oleh LIPI, Rabu (28/8). Syamsuddin menuturkan, konstitusi sudah menjamin hak yang setara kepada semua WNI meski berbeda asal daerahnya.
"Kemudian, sejak 2008 kita semua sudah memiliki UU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Pada pasal 16 UU tersebut disampaikan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan rasa benci berdasarkan diskriminasi ras dan etnis terancam hukuman pidana penjara paling lama lima tahun atau denda Rp 500 juta," ujar Syamsuddin.
Kemudian, dia mengaitkan aturan ini dengan kondisi yang dialami mahasiwa Papua di Surabaya dan Malang baru-baru ini. "Kalau kita kaitkan dengan kejadian di Surabaya dan Malang, maka pelakunya (tindakan ujaran rasial) bisa ditangkap dan dipidana," tegas dia.
Sebab, dalam pasal 16 itu telah jelas disebutkan pasal ancaman pidana bagi pelaku diskriminasi ras dan etnis tersebut. Hanya saja, kata Syamsudin, aturan ini tidak banyak disosialisasikan.
"Padahal aturan ini sangat penting dan kita sudah punya regulasi soal diskriminasi ras dan etnis, " tegasnya.
Sebelumnya, Polda Jawa Timur berjanji akan melakukan penyelidikan terkait dugaan tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Kabid Humas Polda Jatim Komisaris Besar Polisi Frans Barung Mangera menegaskan, tak ada anggota polisi di Surabaya maupun di Jawa Timur yang melakukan tindakan rasial terhadap mahasiswa Papua.
“Tidak ada kepolisian yang melabelkan seseorang, entah itu dengan label hewan atau apa. Kalau ada selentingan dari OKP tertentu. Ya akan kita lakukan penyelidikan,” jelas dia.