REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Alvin Lie, mengatakan, pihaknya meminta pemerintah segera memulihkan akses informasi untuk masyarakat Papua dan Papua Barat secara bertahap. Pemerintah diminta bertanggung jawab memulihkan dampak sosial dan ekonomi sebagai akibat pemblokiran akses internet di Papua.
Pada Rabu (28/8), anggota ORI bertemu dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) yang diwakili Dirjen Aplikasi Informatika (Aptika) Semuel Abrijani Pangarepan. Menurut Alvin, ada sejumlah hal yang dijadikan rujukan dalam pertemuan ini.
"Yang kami garis bawahi tadi adalah kami mengingatkan Kemenkominfo bahwa warga di Papua dan Papua barat mempunyai hak untuk akses informasi melalui internet. Dan itu menjadi landasan kami untuk minta segera dilakukan evaluasi agar secara bertahap hak masyarakat di Papua dan Papua barat untuk akses internet ini secara bertahap dipulihkan," ujar Alvin kepada wartawan di Kantor ORI, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (28/8).
Tujuannya, kata Alvin, agar kehidupan seosial dan kehidupan ekonomi di kedua provinsi dapat segera pulih. Alvin mengakui bahwa informasi hoaks dan provokatif soal Papua paling banyak disebarkan melalui media sosial (medsos).
Sementara itu, saat ini teknologi informasi belum memungkinkan untuk membatasi akses medsos secara regional saja. Hal inilah yang menurut dia, menjadi salah satu faktor mengapa pemblokiran internet dilakukan di Papua dan Papua Barat.
"Kami tadi juga bahas bahwa memang ada pemberitaan yang cenderung memancing, tetapi penyebarannya paling banyak melalui medsos. Teknologi sekarang belum mampu misalnya suatu platform media sosial kalau dibatasi untuk Papua itu belum bisa. Kalau dibatasi ya seluruh Indonesia terbatasi," tuturnya.
Terkait dengan kondisi ini, ORI dan Kemenkominfo pun membahas soal akses medsos yang paling banyak dilakukan lewat smartphone pribadi. Sementara itu, pengguna smartphone harus mendaftarkan kartu prabayar mereka dengan identitas yang jelas.
Namun, kenyataannya peraturan registrasi ini tidak dijalankan secara konsisten. Faktanya, kata Alvin, banyak sekali indentitas untuk registrasi yang tidak jelas.
Akibatnya, lanjut dia, informasi hoaks sangat banyak disebarkan lewat sistem registrasi bermasalah ini. "Untuk itu kami juga minta kepada Pak Dirjen Aptika untuk segera dibenahi, suapaya ke depan ini tidak perlu membatasi atau jangan sampai kita membatasi akses internet. Kalau memang akses media sosial melalui handphome registrasinya sudah bear ikan lebih mudah mengatasinya, daripada kejadian seperti sekarang ini," tambah Alvin.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) masih belum mengetahui kapan akan membuka blokir akses internet di Papua. Pemblokiran layanan data atau internet di Papua akan berlangsung sampai situasi dan kondisi yang benar-benar normal.
Plt. Kepala Biro Humas Kemenkominfo, Ferdinandus Setu mengatakan berdasarkan evaluasi yang dilakukan pihaknya dengan aparat penegak hukum masih beredar informasi hoaks dan rasialisme. Berita bohong tersebut dikhawatirkan justru akan kembali membuat suasana di Papua kembali panas.
"Kemenkominfo mengimbau warganet di seluruh Tanah Air untuk tidak ikut mendistribusikan dan mentransmisikan informasi elektronik yang masih diragukan kebenarannya," kata dia, Senin (26/8).
Terkait pemblokiran yang dilakukan, Kemenkominfo perlu mendiskusikannya dengan aparat hukum. Oleh sebab itu, Kemenkominfo belum bisa memastikan waktu pasti blokir akan dihentikan dan internet di Papua kembali normal.
Menurut Ferdinandus, informasi hoaks dan provokatif terkait isu di Papua masih beredar di media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter dan Youtube. "Untuk saat ini masyarkat tetap bisa berkomunikasi dengan menggunakan layanan panggilan telepon dan layanan pesan singkat," kata dia lagi.