Selasa 27 Aug 2019 16:11 WIB

Kontras: Cabut Blokir Internet, Masalah di Papua Bukan Hoaks

Pelayanan publik dan aktivitas warga di Papua terganggu akibat pemblokiran internet.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Andri Saubani
Puluhan orang dari koalisi masyarakat sipil sedang melakukan aksi di depan kantor Kominfo, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (23/8). Mereka menuntut agar pemerintah segera menghentikan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat.
Foto: Republika/Febryan.A
Puluhan orang dari koalisi masyarakat sipil sedang melakukan aksi di depan kantor Kominfo, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (23/8). Mereka menuntut agar pemerintah segera menghentikan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sudah lebih dari sepekan pemblokiran internet berlangsung di Papua. Akibatnya, pelayanan publik pemerintah daerah setempat, aktivitas warga, hingga pengiriman berita jurnalis terganggu.

Menanggapi hal tersebut, peneliti Kontras, Danu Pratama mengatakan, pemblokiran internet tidak hanya berpengaruh pada komunikasi, melainkan juga menghambat proses pemantauan HAM. Menurut dia, hal tersebut lebih menunjukkan bahwa pemerintah hanya mampu mengkambing hitamkan hoaks dan ujaran kebencian sebagai pemicu kerusuhan dan tidak berani menindak oknum kerusuhan tersebut.

Baca Juga

"Kami melihat itu mungkin ada benarnya, tapi itu bukan keseluruhan masalah yang terjadi di Papua. Dan pemerintah harus hentikan pemblokiran akses internet secepatnya," Ujar dia kepada Republika, Selasa (27/8).

Menurut dia, hoaks yang digadang-gadang pemerintah sebagai ancaman tersebut hanya pemantik saja. Sebab, sambung Danu, permasalahan utama yang paling fundamental adalah rasialisme, di mana hal tersebut tidak disentuh oleh pemerintah.

Dia menegaskan, pemerintah sebenarnya memiliki instrumen dan otoritas khusus untuk mengurangi hoaks. Oleh karena itu, hal utama yang harus dilakukan pemerintah adalah mengidentifikasi dan memaksimalkan kemampuan untuk menyaring hoaks daripada pemblokiran internet.

"Seharusnya pemerintah hanya memilah mana yang sebenarnya hoaks dan mana yang informasi benar," kata dia.

Dia mengatakan, selama informasi yang disebarkan bukan merupakan disinformasi atau kebohongan, maka informasi tersebut adalah legal. Meskipun sambungnya, konten yang dibuat tidak menyenangkan pemerintah.

"Misal video asrama mahasiswa sebelumnya, itu bukan hoaks, sehingga peredarannya sah-sah saja," tutur dia.

Dia menegaskan, yang kemudian perlu menjadi perhatian pemerintah adalah, bagaimana video tersebut tidak dijadikan konflik. Sebab, hal tersebut dinilai lebih efektif untuk mengurangi bibit konflik secara instan daripada menghambat akses internet.

"Dan ketika ada tindakan terhadap pelaku rasisme terlepas dari pihak mana pun. Itu bisa menimbulkan citra bahwa pemerintah mengecam segala bentuk rasisme," ujar Danu.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) masih belum mengetahui kapan akan membuka blokir akses internet di Papua. Pemblokiran layanan data atau internet di Papua akan berlangsung sampai situasi dan kondisi yang benar-benar normal.

Plt. Kepala Biro Humas Kemenkominfo, Ferdinandus Setu mengatakan berdasarkan evaluasi yang dilakukan pihaknya dengan aparat penegak hukum masih beredar informasi hoaks dan rasialisme. Berita bohong tersebut dikhawatirkan justru akan kembali membuat suasana di Papua kembali panas.

"Kemenkominfo mengimbau warganet di seluruh Tanah Air untuk tidak ikut mendistribusikan dan mentransmisikan informasi elektronik yang masih diragukan kebenarannya," kata dia, Senin (26/8).

Terkait pemblokiran yang dilakukan, Kemenkominfo perlu mendiskusikannya dengan aparat hukum. Oleh sebab itu, Kemenkominfo belum bisa memastikan waktu pasti blokir akan dihentikan dan internet di Papua kembali normal.

Menurut Ferdinandus, informasi hoaks dan provokatif terkait isu di Papua masih beredar di media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter dan Youtube. "Untuk saat ini masyarkat tetap bisa berkomunikasi dengan menggunakan layanan panggilan telepon dan layanan pesan singkat," kata dia lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement