REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tindakan rasial dan persekusi yang diterima mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang, Jawa Timur, dinilai banyak pihak mencederai keutuhan Indonesia. Akibat dua perbuatan itulah, kericuhan terjadi di ujung timur Indonesia.
Mantan anggota DPR RI asal Papua, Simon Patrice Morin menilai masalah yang terjadi disebabkan berbagai kesenjangan yang terjadi antara Papua dan wilayah Indonesia lainnya. Sehingga, kericuhan kemarin merupakan bentuk ketidakpuasan warganya atas segala perlakuan yang mereka terima.
"Kejadian di Malang dan Surabaya telah men-trigger suatu keadaan yang sebenarnya mengingatkan kita bahwa masalah Papua banyak masih kita sembunyikan di bawah karpet," ujar Simon di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Jumat (23/8).
Ia menginginkan semua pihak menilai Papua sebagai bagian penting dari Indonesia. Bukan melihat Papua sebagai wilayah yang memiliki sumber daya alamnya yang melimpah saja.
Salah satu cara untuk mewujudkan hal tersebut adalah dengan mengadakan dialog-dialog yang konstruktif dan persuasif kepada masyarakat Papua. Dengan begitu, mereka akan menilai bahwa Papua didengarkan dan dihargai dalam bermasyarakat.
"Harus ada kearifan proyektif dari bangsa ini untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik, kita tidak bisa mentreat satu daerah dengan cara yang beda dengan daerah-daerah yang lain," ujar Simon.
Hal senada juga diungkapkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD. Di mana dialog konstruktif dan persuasiflah yang dibutuhkan dalam menjaga Papua. Bukan dengan tindakan-tindakan yang dapat menimbulkn konflik horizontal, seperti rasisme dan persekusi.
"Kita menyerukan kepada semua pihak untuk sekarang ini melakukan pendekatan dialog-dialog yang konstruktif dan persuasif. Tentu sesudah suasananya tenang, lalu disisir masalahnya," ujar Mahfud.
Mahfud yang merupakan Ketua Gerakan Suluh Kebangsaan (GSK) itu mendorong kepolisian dan pemerintah untuk menindak tegas pelaku persekusi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang. Hal itu diperlukan guna mengembalikan kepercayaan masyarakat Papua terhadap Indonesia.
Karena, perbuatan yang diterima mahasiswa Papua itu benar-benar mencoreng persatuan Indonesia. "Penegakan hukum harus dilakukan, pertama pemicu-pemicu yang menimbulkan sentimen rasis karena itu tidak boleh terjadi di kemudian hari," ujar Mahfud.
Sementara itu, Romo Franz Magnis Suseno melihat, sejak lama rasialisme memang menjadi masalah yang dapat menghancurkan keutuhan suatu bangsa. Karena, rasialisme jugalah yang membuat sejumlah kelompok mengutarakan niatnya untuk berpisah dari suatu negara.
Hal tersebutlah yang dinilainya memunculkan kelompok separatis. Karena mereka merasa tidak dianggap oleh pemerintah.
Namun, ia meminta kepada kelompok separatis di Papua untuk menghentikan niatnya tersebut. Tindakan separatis yang dilakukan mereka justru akan merugikan masyarakat Papua.
"OPM hentikan pendekatan bersenjata, itu tidak punya masa depan. Itu hanya akan menambah pembunuhan, kematian yang akan merugikan orang Papua itu sendiri," ujar Romo Magnis.
Ia menjelaskan, bahwa Papua tidaklah sama dengan Timor Leste. Papua sudah sejak awal merupakan bagian dari Indonesia, yang sudah seharusnya tak perlu adanya pemisahan
"Papua itu memang sudah sah Indonesia dan tentu semua harus dijaga dalam rangka persatua Indonesia," ujar Romo Magnis.
Di samping itu, rangkaian peristiwa tersebut membuat sedih sejumlah tokoh lain yang tergabung dalam Gerakan Suluh Kebangsaan (GSK). Salah satunya adalah istri dari Presiden ke-4 Republik Indonesia, Sinta Nuriyah.
Istri Abdurrahman Wahid itu, mengaku sangat sedih dengan segala hal yang diterima masyarakat Papua. Bahkan rasa sakit mereka dapat dirasakannya, karena perjuangan sang suami di masa lampau seakan dicederai oleh oknum yang terlibat rasisme dan persekusi.
"Getarannya terasa dalam batin kami, saya bisa merasakan apa yang dirasakan masyarakat Papua. Kesedihan yang dirasakan warga Papua adalah kesedihan kami juga," ujar Sinta.
Segala tindakan tercela yang diterima masyarakat Papua dinilai sebagai pelecehan terhadap martabat Indonesia. Di mana seharunya, hal seperti itu tak terjadi dalam kehidupan bermasyarakat sekarang.
Ia mengingat betul pesan sang suami, Gus Dur, yang menyebut bahwa Papua merupakan bagian penting Indonesia. Sehingga warganya harus diperlakukan setara dengan manusia lainnya di negeri ini. "Tidak ada alasan yang sedikitpun bagi bangsa ini untuk membedakan mereka, apalagi mempersekusi dan melecehkannya," ujar Sinta.
Menutup acara yang digelar oleh GSK, Sinta menyampaikan sebuah pesan untuk Papua. "Kami akan selalu berada bersama warga Papua, akan terus memperjuangkan tegaknya harkat dan martabat mereka sebagai bagian dari warga bangsa Indonesia. Kami akan mendesak negara agar bersikap serius melindungi warga Papua."