REPUBLIKA.CO.ID, Jakarta Animal Aid Network (JAAN) mencatat populasi elang bondol di Kabupaten Kepulauan Seribu tersisa tidak kurang dari 18 ekor hingga 2014. Jumlah tersebut merupakan hasil riset JAAN pada 2014 di beberapa pulau dari total 87 pulau yang ada.
Ketua JAAN, Benfika mengatakan, populasi elang bernama ilmiah Haliastur indus itu terdeteksi tim JAAN berada di Pulau Kotok, Pulau Penjaliran, dan Pulau Rambut. Hewan yang menjadi maskot Pemprov DKI Jakarta itu dipastikan sudah tidak tampak di wilayah perkotaan.
Alasannya, jenis elang tersebut hanya dapat terkumpul pada ekosistem alam yang bersih dan sehat. Kalaupun ada di wilayah Jakarta, kata dia, spesies pemangsa itu adalah hasil tangkapan oknum masyarakat untuk keperluan pasar gelap atau sekadar hobi.
"JAAN dalam setahun terakhir mendapat elang bondol rata-rata enam sampai 10 ekor dari tangan para pemburu atau pasar gelap," kata Benfika, beberapa waktu lalu.
Hasil pengamanan itu kemudian disimpan di lokasi penangkaran Pulau Kotok Timur yang berjarak sekitar satu jam perjalanan kapal dari Dermaga Marina Ancol Jakarta menuju Kepulauan Seribu. "Populasi elang bondol ini memang semakin mengkhawatirkan. Elang yang kita amankan, kita simpan di penangkaran Pulau Kotok untuk pemulihan dan dilepasliarkan," ujar dia.
JAAN juga menggunakan alat geotagging untuk memantau perkembangbiakan elang bondol di Kepulauan Seribu. Alat ini didatangkan dari salah satu perusahaan satelit asal Belanda seharga Rp 30 juta per unit.
Alat pemberian dari alokasi dana pertanggungjawaban sosial perusahaan (CSR) PT Pertamina MOR III itu berfungsi layaknya GPS untuk memantau pergerakan elang bondol di alam bebas. Alat seukuran kotak korek api itu akan dipasang di bagian leher burung menggunakan pengikat khusus yang akan terlepas otomatis paling lama dua tahun.
"Saat ini, proses pemasangannya sedang menunggu password dan verifikasi data dari perusahaan penyedia alat di Belanda. Paling lama, dua pekan ke depan sudah bisa aktif," katanya.
Benfika mengatakan, latar belakang permintaan alat geotagging itu dikarenakan belum adanya pihak terkait di Indonesia yang mampu mendeteksi kelamin elang. "Sementara, untuk proses kembang biak elang, kita butuh memastikan kelaminnya. Kalau jenis kelaminnya sama, biasa-bisa mereka saling bunuh," kata Ben.
Selain itu, kehidupan elang bondol ini juga terancam dipicu sejumlah faktor, di antaranya, penangkapan liar, kondisi alam yang kotor, hingga proses pengembalian yang rumit. "Pulau Kotok yang kita kelola sebagai tempat penangkaran elang bondol hanya bersifat perawatan saja dari hasil penyitaan oleh petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DKI Jakarta yang melibatkan JAAN," kata dia.
Pulau yang berjarak sekitar 1,5 jam dari Dermaga Marina Ancol, Jakarta, menuju timur laut itu menjadi pusat konservasi elang bondol dan elang laut sejak 2004. Selama proses perawatan, kata Ben, elang jantan dan betina hanya bisa dideteksi dengan tes DNA. Akan tetapi, tes ini hanya bisa dilakukan di laboratorium yang ada di Belanda. Sedangkan, Indonesia belum memilikinya.
Setelah terdeteksi kelaminnya, elang jantan dan betina disatukan dalam kandang hingga mereka siap bereproduksi dan dilepas ke alam bebas. "Dengan geotagging ini kita bisa lihat seberapa lama usianya hingga mereka memiliki keturunan," ujar dia.
Ancaman Plastik
Benfika juga menyatakan kekhawatirannya terhadap sarang elang bondol yang hidup berkoloni di Kepulauan Seribu terkontaminasi sampah plastik. Ada perubahan perilaku berdasarkan pengamatan pihaknya, baru-baru ini.
Sejumlah elang bondol maupun elang laut di sekitar Pulau Kotok, Pulau Penjaliran, dan Pulau Rambut membuat sarang mereka dengan sampah plastik. Jenis sampah yang biasanya digunakan elang untuk sarang berjenis sandal jepit, styrofoam, sedotan, dan sejenisnya.
"Sarang elang bondol sudah bukan lagi pakai ranting, melainkan sudah pakai plastik," kata Ben.
Ben menyebut, bahan plastik tersebut didapat dari perairan Jakarta yang kini terkontaminasi sampah rumah tangga. Ben mengimbau masyarakat untuk mengurangi sampah plastik karena bisa mengancam keselamatan satwa.
"Jangan buang sampah sembarangan. Yang buang di darat akan sampai ke laut dan bisa dimakan satwa atau digunakan jadi sarang," katanya.