REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Jakarta Animal Aid Network (JAAN) Benfika mengatakan sampah plastik mengancam ekosistem Elang Bondol di Kepulauan Seribu. Sarang Elang Bondol yang hidup berkoloni di Kepulauan Seribu terkontaminasi sampah plastik.
"Sampah plastik saat ini mengancam elang. Ada perubahan perilaku berdasarkan pengamatan kami baru-baru ini," kata Benfika di Pulau Kotok, Kepulauan Seribu, Ahad (18/8).
Sejumlah Elang Bondol maupun Elang Laut di sekitar Pulau Kotok, Pulau Penjaliran, dan Pulau Rambut membuat sarang mereka dengan sampah plastik. Jenis sampah yang biasanya digunakan elang untuk sarang berjenis sandal jepit, styrofoam, sedotan, dan sejenisnya.
"Sarang elang bondol sudah bukan lagi pakai ranting, melainkan sudah pakai plastik," katanya.
Ben menyebut bahan plastik tersebut didapat dari perairan Jakarta yang kini terkontaminasi sampah rumah tangga. Ben mengimbau masyarakat untuk mengurangi sampah plastik karena bisa mengancam keselamatan satwa.
"Jangan buang sampah sembarangan, yang buang di darat akan sampai ke laut dan bisa dimakan satwa atau digunakan jadi sarang," katanya.
Pantau dengan geotagging
JAAN memperoleh alat geotagging untuk memantau perkembangbiakan Elang Bondol di Kabupaten Kepulauan Seribu. "Alat ini didatangkan dari salah satu perusahaan satelit asal Belanda seharga Rp 30 juta per unit," kata Benfika.
Alat pemberian dari alokasi dana pertanggungjawaban sosial perusahaan (CSR) PT Pertamina MOR III itu berfungsi layaknya GPS untuk memantau pergerakan Elang Bondol di alam bebas. Alat seukuran kotak korek api itu akan dipasang di bagian leher burung menggunakan pengikat khusus yang akan terlepas otomatis paling lama dua tahun.
"Saat ini proses pemasangannya sedang menunggu password dan verifikasi data dari perusahaan penyedia alat di Belanda. Paling lama dua pekan ke depan sudah bisa aktif," katanya.
Benfika mengatakan latar belakang permintaan alat geotagging itu dikarenakan belum adanya pihak terkait di Indonesia yang mampu mendeteksi kelamin elang. "Sementara untuk proses kembang biak elang, kita butuh memastikan kelaminnya. Kalau jenis kelaminnya sama, biasa-bisa mereka saling bunuh," kata Ben.
Ben menambahkan bahwa populasi elang bondol di Jakarta kian mengkhawatirkan seiring dengan masifnya perburuan serta pasar gelap satwa. "Sampai 2014 tidak kurang dari 18 elang bondol yang tersisa di beberapa Kepulauan Seribu," katanya.
Populasi itu terdeteksi di Pulau Kotok, Pulau Penjaliran, dan Pulau Rambut. Populasi yang tergolong langka itu dipicu sejumlah faktor, di antaranya penangkapan liar, kondisi alam yang kotor, hingga proses pengembalian yang rumit.
"Pulau Kotok yang kita kelola sebagai tempat penangkaran Elang Bondol hanya bersifat perawatan saja dari hasil penyitaan oleh petugas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jakarta yang melibatkan JAAN," katanya.
Pulau yang berjarak sekitar 1,5 jam dari Dermaga Marina Ancol, Jakarta menuju timur laut itu menjadi pusat konservasi Elang Bondol dan Elang Laut sejak 2004. "Rata-rata setahun kita merawat enam sampai sepuluh ekor Elang Bondol di Pulau Kotok. Sudah beberapa kali pelepas liaran setelah kita pastikan mereka siap," kata Ben.
Selama proses perawatan, kata Ben, elang jantan dan betina hanya bisa dideteksi dengan tes DNA. "Tes DNA elang hanya bisa kita lakukan di laboratorium yang ada di Belanda. Indonesia belum punya," katanya.
Setelah terdeteksi kelaminnya, elang jantan dan betina disatukan dalam kandang hingga mereka siap bereproduksi dan dilepas ke alam bebas. "Dengan geotagging ini kita bisa lihat seberapa lama usianya hingga mereka memiliki keturunan," katanya.