REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: Karta Raharja Ucu
Habitat elang bondol kini sudah terancam, sementara budi daya salak condet terbentur keterbatasan lahan.
Ulung-ulung, begitu sebutan orang Betawi untuk burung elang bondol. Pernyataan itu terlontar dari Alwi Shahab, pemerhati sejarah Jakarta di awal perbincangan dengan Republika, akhir pekan lalu.
Pria yang saban hari disapa Abah Alwi ini merawikan, pada 1970-an, elang bondol masih lestari di langit DKI. "Ulung-ulung biasanya membuat sarang di pohon-pohon tinggi di Jakarta. Dulu masih banyak pohon tinggi, tapi sekarang sudah digantikan gedung-gedung," kata Abah Alwi.
"Masyarakat Betawi," kata Abah Alwi melanjutkan, "akrab dengan Ulung-Ulung. Bahkan ada lagunya, yang mengingatkan orang untuk mewaspadai Ulung-ulung yang mengintai dan menyamber anak ayam."
Elang bondol kini tersingkir dari kehidupan belantara beton Jakarta. Ia terusir dari Ibu Kota karena makanan favoritnya berupa ikan yang berada di perairan bersih sudah tidak ada lagi.
Dulu, kata Abah Alwi, saat Jakarta masih ditumbuhi banyak pohon dan sungainya bersih, elang bondol sangat mudah dilihat. Namun, sejak disesaki manusia dan wilayah hijaunya berkurang dan berubah menjadi perumahan, perkantoran dan kawasan industri, burung berukuran sekitar 45 sentimeter itu kesulitan mencari makan.
Elang bondol juga langka karena diburu dan diperdagangkan secara ilegal. "Saat ini mereka harus bertahan di pulau-pulau kecil di Kepulauan Seribu terutama di Pulau Kotok dan Pulau Pramuka," kata Abah Alwi.
Pada masa Gubernur Wiyogo Atmodarminto, masih kata Abah Alwi, terbit SK Gubernur 1989 yang menetapkan Ulung-Ulung atau elang bondol dan salak condet sebagai maskot DKI Jakarta. Sayang seribu sayang, populasi elang bondol dan salak condet saat ini sudah di ujung tanduk. Saat ini elang bondol sudah dalam taraf mengkhawatirkan. Perburuan liar di alam bebas dan sulitnya burung gagah itu berkembang biak menjadi faktor utama penyebab langkanya Ulung-Ulung.
Karenanya, berbagai upaya dilakukan untuk hewan karnivora tersebut. Satu di antaranya melalui konservasi dan penangkaran di Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta selatan.
Humas TMR, Wahyudi Bambang (38 tahun) mengatakan, di TMR dilakukan penyelamatan dan penetasan telur elang bondol. Namun, hingga 2014, baru dua telur yang berhasil menetas dan bertahan hidup hingga sekarang.
"Dalam setahun elang bondol hanya bertelur dua kali. Namun belum tentu menetas juga bertahan. Itulah sebabnya hewan ini menjadi langka dan terancam punah," kata Wahyudi saat ditemui Republika.
Wahyudi menyebut, saat ini TMR memiliki 20 ekor elang bondol. Tapi menurut Wahyudi saat ini upaya penangkaran masih belum memenuhi harapan.
Ia pun menyayangkan elang bondol yang menjadi maskot Jakarta tidak pernah lagi terlihat terbang di langit Ibu Kota. "Elang bondol memang pemakan daging (karnivora), tapi hewan ini tidak tergolong buas. Elang bondol pada dasarnya bersahabat dan cenderung tidak menyukai keramaian," kata dia menjelaskan.
Bambang menambahkan, selain di TMR, penangkaran elang bondol juga ada di Kepulauan Seribu. Habitat hewan yang memiliki nama latin Haliastur indus itu dapat ditemukan di daerah sekitar pantai, sungai, dan hutan. "Ketinggian terbang elang bondol dapat mencapai 3.000 meter. Elang bondol termasuk ke dalam hewan yang dilindungi oleh Undang-undang yaitu No 5 tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah No 7 dan 8 tahun 1998," kata dia.
Kondisi serupa juga menimpa salak condet. Salak condet saat ini semakin sulit dijumpai. Padahal sekitar 10 tahun lalu buah yang menjadi maskot DKI Jakarta itu sempat menjadi primadona.
Salah satu penyebab, kurangnya budi daya buah ini. Sebelumnya kebun salak condet mudah dijumpai wilayah Condet, Jakarta Timur. Namun, seiring zaman hanya beberapa yang tersisa.
Yuli (45 tahun) warga Condet, mengatakan, persaingan pasar buah yang terjadi saat ini, menjadi salah satu alasan mengapa Salak Condet jarang ditemukan. "Banyak buah impor di pasar, jadi salak condet kurang dilirik masyarakat," ujar Yuli.
Ia sangat menyayangkan sebagian besar warga Jakarta tidak mengetahui Salak Condet yang merupakan maskot Ibu kota. "Sayang banget kalau nggak tahu Salak Condet. Buahnya berbeda dengan Salak Pondoh, dagingnya lebih tebal dan lebih lembut kalau dimakan," kata Yuli.
Perempuan asli Betawi asli ini berharap generasi muda tidak lupa dengan salah satu maskot Jakarta. Ia tetap berusaha agar salak condet tidak punah dimakan zaman. "Ya, caranya agar generasi muda nggak lupa, kita olah jadi asinan dan berbagai macam makanan yang unik. Abis kalau nggak gitu lama-lama Salak Condet bisa punah, anak cucu kita nanti nggak tahu apa salak condet," imbuh Yuli.
Abah Alwi juga menyayangkan saat ini elang bondol dan Salak Condet sulit dijumpai. "Paling-paling hanya gambarnya saja di bus Transjakarta, atau patungnya," tutup pria yang besar di Condet ini.