REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekarang Jakarta lebih sering diidentikkan dengan Tugu Monas (Monumen Nasional) atau Ondel-Ondel Betawi, bukan dengan elang bondol atau salak Condet.
Suvenir yang dijual di tempat-tempat pariwisata Ibu Kota kebanyakan bergambar atau berbentuk Tugu Monas atau Ondel-Ondel, jarang yang bergambar elang bondol atau salak Condet.
"Itu tanda masyarakat tidak tahu bahwa maskot Jakarta adalah elang bondol dan salak Condet," kata pengamat budaya Betawi Yahya Adi Saputra di Jakarta, Kamis (19/9).
Budayawan Betawi Ridwan Saidi mengatakan kebanyakan masyarakat Betawi juga sudah jarang bercerita tentang elang bondol kepada generasi muda, yang sudah sulit melihat satwa itu karena pembangunan gedung-gedung bertingkat sudah membuat elang bondol menyingkir ke wilayah pesisir Jakarta.
"Kalau salak Condet sendiri masih ada, tetapi hanya di beberapa wilayah saja seperti bantaran kali," katanya.
Selain itu, ia mengatakan, sekarang kebanyakan warga sudah tidak bisa membedakan salak Condet dengan salak biasa.
Menurut dia, kulit buah salak condet bersisik agak besar dan berwarna cokelat sampai kehitaman, dan dagingnya putih kekuningan tebal, masir, dan kesat.
"Rasanya bervariasi, dari kurang manis sampai manis. Salah satu keistimewaan salak condet adalah aromanya yang wangi. Bahkan, wangi salak ini sudah tercium dari jarak sekitar dua meter. Ukuran buahnya bervariasi dari kecil, sedang, sampai besar," katanya.
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta No. 1796 Tahun 1989 menetapkan salak Condet (Salacca zalacca) dari jenis flora dan burung elang bondol (Haliastur indus) dari jenis fauna sebagai identitas atau maskot Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
Menurut keputusan itu salak Condet yang penyebarannya hanya terbatas di kawasan Cagar Budaya Condet, Jakarta Timur, memiliki nilai kekhasan.
Sementara burung elang bondol yang penampilannya menarik serta punya kemampuan terbang prima dan ketajaman mata dalam mencari mangsa merupakan simbol warga Jakarta yang dinamis, tangkas dan cepat bertindak.
Keputusan yang ditetapkan oleh Gubernur Wiyogo Admodarminto pada 29 Desember 1989 itu ditujukan untuk meningkatkan rasa memiliki dan menanamkan kebanggaan terhadap salak Condet dan burung elang bondol sebagai plasma nutfah.
Kebijakan itu juga ditujukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar dapat berperan aktif dalam upaya melestarikan keberadaannya.
Yahya dan Ridwan berharap pemerintah provinsi memperhatikan lagi identitas-identitas Ibu Kota yang sudah mulai dilupakan orang itu supaya bisa mewariskannya ke generasi berikut.