Rabu 14 Aug 2019 19:14 WIB

Bvitri: Amandemen UUD 1945 Jadi Bargain Siapa Pimpin MPR

Wacana amandemen UUD 1945 dinilai bukan untuk mendahulukan kepentingan rakyat.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Andri Saubani
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli hukum tata negara, Bvitri Susanti, menilai wacana amandemen Garis-garis Besar Halauan Negara (GBHN) kental dengan unsur campur tangan elite politik. Amandemen GBHN pun dicurigai tidak berdasarkan kepada dinamika kepentingan masyarakat.

Hal ini disampaikannya merujuk kepada kecenderungan parpol menjadikan wacana amandemen GBHN sebagai tawar-menawar dalam penentuan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). "Dalam pandangan saya, bukan kepentingan rakyat yang didahulukan, bahkan kita semua tahu ini menjadi bargain untuk siapa yang jadi pimpinan di MPR.  Sehingga kelihatan sekali warna elite (elite politik)-nya, " ujar Bvitri dalam diskusi di Gondangdia, Jakarta Pusat, Rabu (14/8).

Baca Juga

Dia melanjutkan, ada dua hal yang semestinya dijadikan pedoman untuk melakukan amandemen suatu aturan perundangan. Pertama, amandemen yang diusulkan berdasarkan kepada dinamika masyarakat, bukan hanya sebagian orang. 

Kedua, apakah usulan amandemen memiliki implikasi konkret kepada kehidupan bernegara. "Dari dua parameter ini saja, usulan amandemen GBHN yang saat ini dibicarakan sudah tidak memenuhi kriteria," lanjutnya.

Bvitri lantas membandingkan kondisi saat ini dengan masa-masa awal wacana amandemen UUD 1945 keempat yakni saat reformasi. Amandemen saat itu terjadi karena desakan berbagai elemen masyarakat, salah satunya mahasiswa yang berdemonstrasi. 

"Saya ingat sekali dulu 97 dan 98 salah satu tuntutan mahasiswa dan banyaknya elemen rakyat adalah amendemen konstitusi. Jadi ada tuntutan dari rakyat untuk amendemen. Poin pentingnya, amendemen konstitusi harus untuk kepentingan rakyat dan melibatkan publik," tegas Bvitri. 

Sebelumnya,  Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) merekomendasikan adanya amandemen terbatas UUD 1945 untuk menetapkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara. Dengan demikian, MPR memiliki kewenangan menetapkan GBHN sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan.

Demi memuluskan rekomendasi tersebut, PDIP saat ini sedang memfokuskan diri agar amandemen UUD 1945 secara terbatas dapat terlaksana. partai berlambang kepala banteng moncong putih itu akan mengusung agenda tersebut dalam pemilihan Ketua MPR periode 2019-2024.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement