Jumat 09 Aug 2019 06:45 WIB

Begini Tanggapan Warga Soal Perluasan Ganjil-Genap

Penerapan ganjil-genap seharusnya juga berlaku untuk kendaraan roda dua.

Rep: Umi Soliha/ Red: Friska Yolanda
Kendaraan melintas di dekat papan informasi kebijakan sistem pembatasan kendaraan bermotor berdasarkan nomor plat ganjil-genap di kawasan Sudirman, Jakarta, Kamis (21/3/2019).
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Kendaraan melintas di dekat papan informasi kebijakan sistem pembatasan kendaraan bermotor berdasarkan nomor plat ganjil-genap di kawasan Sudirman, Jakarta, Kamis (21/3/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah melakukan uji coba perluasan sistem pembatasan kendaraan bermotor berdasarkan nomor polisi ganjil dan genap sejak Rabu (7/8) lalu. Rencananya uji coba ini akan dilaksanakan sampai 8 September mendatang, artinya tanggal 9 September dan seterusnya sudah dilakukan penilangan.

Sebanyak 25 ruas jalan akan diterapkan sistem ganjil genap, dari sebelumnya hanya 9 jalan. Pemberlakuan kebijakan ini pun menuai pro dan kontra di kalangan pengendara roda empat.

Baca Juga

Surya (38 tahun), warga Jakarta Timur, mengaku sangat mendukung kebijakan Pemprov DKI Jakarta tersebut. Pria yang sering Melawati Jalan Gajah Mada menuju ke Pasar Glodok itu menilai kebijakan ganjil-genap memiliki tujuan yang baik.

"Saya setuju dengan kebijakan sistem ganjil genap. Apalagi tujuannya baik, biar enggak macet dan mengurangi polusi udara," ujaranya saat ditenui di Pasar Glodok, Jakarta Barat, Kamis (8/8).

Ia mengatakan, jika nanti mobilnya tidak bisa melewati Jalan Gajah Mada untuk menuju Pasar Glodok, ia akan menggunakan transportasi umum. Intinya, kata dia, harus patuh kepada peraturan.

"Kalau enggak ke sini karena kena sistem ganjil genap nanti saya naik Kereta atau Transjakarta. Harus dibikin simple jangan dibuat ribet," kata dia.

Sementara, Ferry (40) sopir angkutan barang yang sudah mangkal di Pasar Glodok sejak 15 tahun silam mengaku tidak setuju dengan kebijakan tersebut. Menurutnya,  kebijakan tersebut akan mempersulit ia dalam menjalan profesinya sekarang ini. Ia juga khawatir,  dengan adanya sistem ganjil genap sumber mata pencahariannya menurun.

"Sekarang saja enggak ada sistem itu susah cari pelanggan, sehari kadang bisa enggak dapet penumpang sama sekali. Apalagi ada sistem ganjil genap, saya takut semakin turun orang yang pake jasa kita," lanjutnya.

Di tempat berbeda, pengamat kebijakan transportasi Djoko Setijowarno pun mendukung perluasan sistem ganjil genap di DKI Jakarta. Namun, ia berpendapat jika kebijakan tersebut hanya di terapkan pada kendaraan roda empat hasilnya tidak  akan maksimal.

"Saya setuju adanya kebijakan perluasan ganjil genap namun kalau cuma mobil yang diatur terus sepeda motor enggak hasilnya kurang maksimal," ujar kepada Republika.co.id.

Menurutnya, Pemrov DKI juga hari berani mengurangi mobilitas sepeda motor. Sebab, kata dia, populasi terbesar kendaraan bermotor adalah sepeda motor 75 persen, mobil 23 persen dan hanya 2 persen angkutan umum.

Dengan populasi sepeda motor yang cukup besar, sudah tentu menjadi penyebab terbesar polusi udara, pemborosan energi, kemacetan, kesemerawutan dan meningkatnya angka kecelakaan lalu lintas. Pesatnya kepemilikan sepeda motor dimulai tahun 2005, sejak adanya kebijakan mudah memiliki sepeda motor, bisa dengan mengangsur dan uang muka (down payment) yang rendah. Dampaknya, populasi sepeda motor meningkat pesat. Dan penurunan penggunaan transportasi umum cukup drastis. Karena akselerasi sepeda motor lebih tinggi ketimbang memakai transportasi umum.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement