REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise menginginkan kaum perempuan memiliki peranan yang lebih banyak dalam membangun Papua. Selama ini, sebut dia, perempuan belum mendapat peran yang cukup siginifikan dalam pembangunan Papua.
Pesan itu disampaikannya dalam pertemuan dengan para tokoh adat, tokoh agama dan pemerintah (3 Tungku) wilayah Papua dan Papua Barat, Kamis (1/8) di Jayapura, Papua.
Ia menilai perlu ada upaya bersama 3 Tungku untuk mempercepat pelaksanaan dan efektifitas pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di Tanah Papua.
Menteri Yohana menekankan pentingnya isu tersebut segera ditindaklanjuti bersama sehingga dapat menigkatkan kesejahteraan perempuan dan anak serta mendorong kesetaraan gender di Tanah Papua.
“Di Tanah Papua, perempuan dan anak seharusnya terlibat dalam berbagai sektor pembangunan. Nyatanya, laki-laki masih mendominasi. Masih sedikit perempuan yang mengisi posisi-posisi strategis di pemerintahan maupun swasta," kata Yohana Yembise seperti dikutip siaran pers yang diterima Republika.co.id, Kamis (1/8).
"Yang banyak justru yang menjadi korban kekerasan. Ini yang membutuhkan perhatian bersama agar Indeks Pembangunan Manusia dan Gender di Papua dan Papua Barat tidak lagi tertinggal,” sambung dia.
Sementara itu, Ketua Umum Dewan Adat Papua, Yan Pieter Yarangga, menyayangkan masalah dalam pembangunan di Papua. Menurutnya, pembangunan manusia maupun infrastruktur bermasalah karena tidak adanya sinergitas dan ego sektoral.
“Kepada dinas-dinas di daerah kami mohon mengubah situasi politik pelayanan pemerintahan. Mari kita bersatu mengatasi masalah perempuan dan anak. Gandeng gereja, gandeng adat, kita kerja bersama. Dewan Adat Papua hanya mau memastikan pembangunan ini menyelamatkan manusia Papua, tanah, dan sumber daya alam,” tegas Yan Pieter Yarangga.
Yan Pieter mengusulkan dibuatnya rencana aksi bersama yang dilandaskan sinergitas guna mengatasi masalah isu perempuan dan anak di Tanah Papua. Kondisi ini dibenarkan oleh perwakilan tokoh agama, Pdt. DR. Yan Pieth Wambrau selaku Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Sekota Jayapura.
“Kita punya otonomi khusus tapi pertanyaannya, otonomi khusus melindungi kita tidak? Kiranya dalam pertemuan ini bukan hanya bicara masalah perempuan dan anak, tapi juga bapaknya. Terutama pemerintah, agar membuat sistem perlindungan dari tiga unsur adat, agama, dan pemerintah. Sinergi adalah kuncinya,” ujar Yan Pieth Wambrauw.
Di sisi lain, Staf Ahli Gubernur Papua, Johanna O.A Rumbiak mengakui permasalahan kesetaraan gender di Papua belum teratasi secara sistematis. Menteri PPPA mengatakan, berdasarkan penelitian LIPI di tujuh wilayah adat di Papua, terdapat fakta bahwa pembangunan dan pemberdayaan gender belum berkontribusi signifikan terhadap kualitas hidup perempuan.
Perhatian dari pemerintah daerah juga dirasakan masih sangat minim terhadap isu perempuan dan anak.
“Masalah perempuan dan anak memerlukan perhatian khusus, sinergi, dan kolaborasi antara pemerintah, tokoh adat dan agama. Kita akan berdiskusi dan mendengarkan satu sama lain untuk mengatasi pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di wilayah masing-masing secara holistik,” ujar Johana.
Diketahui, Kementerian PPPA melalui Deputi Bidang Kesetaraan Gender menggelar Bimbingan Teknis (Bimtek) Pembangunan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan Pendekatan Adat, Agama, dan Pemerintah di Jayapura dari tanggal 31 Juli - 2 Agustus 2019. Bimtek melibatkan tokoh adat, tokoh agama, Kepala Dinas PPPA dan Bappeda tingkat Kab/Kota di wilayah Papua dan Papua Barat.