REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Humor menjadi salah satu unsur dominan dalam sastra Betawi. Hal itu diungkapkan sejarawan dan penulis J.J. Rizal.
Rizal mengatakan hal itu bisa terlihat dari karya sastrawan Betawi Abdullah bin Muhammad al-Misri yang membuat cerita tentang Gubernur Jenderal Daendels.
"Dia menggambarkan Daendels sebagai orang yang angkuh dengan bahasa melayu Betawi yang kasar tetapi syarat akan humor," kata pendiri penerbitan buku Komunitas Bambu saat ditemui di Jakarta usai pra-acara Jakarta International Literary Festival, Rabu (31/7).
Apa yang dicontohkan oleh Abdullah al-Misri tersebut merupakan salah satu satire yang baik. Dia menggunakan humor untuk mengkritik pemerintahan Daendels, di mana karya tersebut lahir tidak jauh dari masa kekuasaan Daendels.
Humor juga kental di karya sastawan Betawi lainnya seperti Muhammad Bakir. Dalam salah satu karyanya Syair Buah-Buahan dia menceritakan lakon wayang Dursasana memakai minyak kolonye.
Kemudian ada juga cerita Tionghoa yang ditjnggal istrinya mati, kemudian dia dihibur oleh nyanyian-nyanyian lagu Tionghoa dalam irama yang Islami.
Dia mengatakan humor menjadi aspek penting dalam berkarya bagi sastrawan Betawi dan hal itu juga menggambarkan budaya serta rasa orang Betawi. "Mereka menggambarkan humor dengan sastra seperti gigi dengan gusi," kata dia.
Humor yang dibawa oleh sastrawan Betawi sangat beragam dan kompleks, bisa dalam bentuk satire, humor gelap, dan humor keberagaman etnik yang kosmopolit antara pribumi dengan Tionghoa.
"Humor-humor seperti itu tidak ada masalah dan dianggap humor yang wajar serta bisa dinikmati bersama. Bahkan taman bacaan milik Muhammad Bakir, pembacanya mayoritas orang Tionghoa," kata dia.