Rabu 31 Jul 2019 15:56 WIB

KPU: Masyarakat Belum Percaya Rekapitulasi Elektronik

Rekapitulasi tidak akan mendapatkan legitimasi sempurna jika publik tak percaya.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Ratna Puspita
Komisioner KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, memberikan keterangan tentang hasil pleno KPU soal larangan caleg dari mantan narapidana kasus korupsi, Rabu (23/5). KPU memutuskan tetap akan memberlakukan aturan yang  melarang mantan koruptor mendaftar sebagai caleg.
Foto: Republika/Dian Erika Nugraheny
Komisioner KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, memberikan keterangan tentang hasil pleno KPU soal larangan caleg dari mantan narapidana kasus korupsi, Rabu (23/5). KPU memutuskan tetap akan memberlakukan aturan yang melarang mantan koruptor mendaftar sebagai caleg.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penerapan rekapitulasi elektronik pada pemilihan umum masih minim. Hal tersebut menjadi kendala yang masih harus dipecahkan jika rekapitulasi elektronik akan diterapkan pada Pilkada Serentak 2020.

Pramono mengatakan, hasil rekapitulasi tidak akan mendapatkan legitimasi sempurna jika masih banyak publik yang tidak mempercayai sistem hitung tersebut. Dia menegaskan, legitimasi hasil akan rendah meski regulasi sistem e-rekapitulasi itu sudah disahkan.

Baca Juga

"Makanya sambil kiami kaji ini sambil kami bangun awareness masyarakat bahwa ini sistem yang bisa dipercaya," katanya di Jakarta, Rabu (31/7).

Pramono menjelaskan, kendala lain penerapan rekapitulasi elektronik kendala berasal dari sisi regulasi. Dia mengungkapan, pasal 84 ayat 2 telah menutup pintu bagi sistem rekapitulasi elektronik ini untuk bisa diterapkan. 

Pasal itu menyatakan pemungutan suara adalah pemberian tanda pada kertas suara. Namun, dia mengatakan, peluang untuk menggunakan sistem tersebut sedikit terbuka di pasal 98 ayat 3 UU Pilkada. 

Beleid itu menyatakan, penghitungan suara yang dilakukan secara elektronik dilakukan secara manual dan/atau elektronik. Pasal 111 ayat 1 UU Pilkada mengatakan perhitungan suara pemilihan secara manual dan atau melakukan sistem perhitungan suara secara elektronik diatur dengan peraturan KPU. 

Pramono mengatakan, regulasi itu juga membuka peluang bagi KPU untuk menerapkan sistem rekapilutasi elektronik. "Kalau dilakukan secara manual maupun elektronik maka harus dituangkan di dalam peraturan KPU, itu kan mandat yang seharusnya cukup tegas pada KPU untuk menyusun detail-detail teknikalitas pelaksanaan e-rekap itu," katanya.

Pramono mengatakan rekapitulasi elektronik menjadi kebutuhan karena kehidupan masyarakat saat ini telah dekat dengan sistem elektronik. "Kami percaya ini visible, tinggal kita lihat apakah ini bisa diterapkan di seluruh daerah atau hanya di beberapa daerah tertentu untuk tahap 2020 ini," kata dia.

Dia mengatakan, saat ini KPU masih mengkaji kemungkinan diterapkannya sistem e-rekapitulasi tersebut. Dia melanjutkan, Indonesia tidak bisa terus menerus menggunakan sistem penghitungan manual berjenjang seperti yang kerap dipakai di Pemilu sebelumnya.

Menurutnya, Indonesia sudah memiliki kemampuan untuk menerapkan sistem tersebut secara teknologi dan sumber daya manusia. "Bahwa ada kemajuan teknologi yang harus diadopsi dan kita mau tidak mau harus menggunakan teknologi pada batas-batas tertentu," kata Pramono lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement