Rabu 31 Jul 2019 14:46 WIB

BKKBN Prioritaskan Kesehatan Reproduksi Perempuan

Ketidaksiapan fungsi reproduksi di antaranya karena menikah terlalu muda.

Kesehatan perempuan (ilustrasi)
Foto: republika
Kesehatan perempuan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) saat ini memprioritaskan program kesehatan reproduksi perempuan. Hal tersebut sebagai langkah persiapan melahirkan generasi berkualitas yang akan menjadi penerus pembangunan bangsa.

"Jika ingin melahirkan generasi berkualiatasmaka yang harus dijaga pertama, yakni kualitas kesehatan perempuan sejak awal kehidupannya hingga tumbuh dewasa," kata Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN Dwi Listyawardani saat menghadiri peringatan Hari Keluarga Nasional XXVITingkat Provinsi Sulawesi Tengah di Palu, Rabu (31/7).

Baca Juga

Kesehatan reproduks, kata dia, bagian penting yang harus menjadi perhatian setiap individu untuk melahirkan keturunan guna membentuk suatu keluarga. Dia memaparkan banyak perempuan di Tanah Air ditemukan belum siap melaksanakan fungsi reproduksinya, di antaranya karena menikah dalam usia terlalu muda sehingga berdampak pada kondisi fisik dan organ reproduksi, termasuk kondisi mental.

Menurut dia, pernikahan pada usia anak atau di bawah 20 tahun rentang terhadap risiko kematian ibu saat melahirkan.Dari BKKBN pusat, proporsi kematian ibu saat melahirkan sekitar 25 hingga 30 persen, termasuk kekurangan gizi kronis pada anak atau kekerdilan, separuhnya lahir dari ibu yang masih berusia muda.

"Melalui program generasi berencana dan pendewasaan usia perkawinan menjadi agenda utama BKKBN dan Kementerian Kesehatan, karena dengan kesiapan berumah tangga dan kesiapan melaksanakan fungsi reproduksi, khususnya bagi perempuan maka banyakpersoalan yang dapat diselesaikan, terutama angka kematian ibu dan 'stunting' (kekerdilan)," ungkap Dwi.

Dia mengatakan secara nasional, angka kematian ibu saa tbersalin masih cukup tinggi, yakni 305/100 ribu kelahiran hidup atau sekitar 15.000 kasus. Sedangkan persentase kekerdilan 27 sampai 30 persen atau sekitar sembilan juta balita mengalami kekurangan gizi.

Di Sulawesi Tengah, prevalensi kekurangan gizi kronis 32,3 persen, padahal 10 atau 15 tahun ke depan, Indonesia akan menghadapi bonus demografi. "Ini menjadi prioritas kami bersama Kementerian Kesehatan mengurangi risiko kematian ibu dan menurunkan angka 'stunting'melalui pencegahan, baik melalui program Keluarga Berencana maupun memprioritaskan kesehatan reproduksi perempuan," ujarnya.

Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Tengah Hidayat Lamakaratemengatakan guna mengawal program Kependudukan Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK), pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota agar tetap menjalin kemitraan dengan BKKBN. Sebab, BKKBN merupakan badan yang diberi kewenangan pemerintah pusat menangani masalah pengendalian penduduk.

"Lembanga vertikal dan pemerintah daerah harus berkolaborasi, sebagaimana program dicanangkan BKKBN yang memprioritaskan kesehatan reproduksi perempuan maka pemerintah daerah wajib mendukung untuk kebaikan pembangunan," kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement