Ahad 28 Jul 2019 06:52 WIB

Nelayan Diminta Bantu Tangkap Limbah Minyak Pesisir Karawang

Kebocoran minyak di perairan Karawang merusak ekosistem merugikan nelayan.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Indira Rezkisari
Warga mengumpulkan limbah tumpahan minyak 'Oil Spill' yang tercecer milik Pertamina di Pesisir Pantai Cemarajaya, Karawang, Jawa Barat, Rabu (24/7/2019).
Foto: Antara/M Ibnu Chazar
Warga mengumpulkan limbah tumpahan minyak 'Oil Spill' yang tercecer milik Pertamina di Pesisir Pantai Cemarajaya, Karawang, Jawa Barat, Rabu (24/7/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengatakan, kebocoran minyak pipa dan gas pada proyek milik Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) telah mencemari pesisir perairan Karawang, Jawa Barat. Pencemaran diketahui juga meluas hingga ke perairan Bekasi, Jawa Barat.  

Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati, menegaskan menegaskan kebocoran pipa yang menyebabkan tumpahan minyak itu merusak ekosistem laut dan pesisir. Para nelayan yang mencari ikan dan udang sebagai mata pencaharian alhasil merugi dan kehilangan potensi pendapatan.

Baca Juga

Ia juga menyebut, akibat kelalaian Pertamina, banyak ikan dan udah di sekitar wilayah tercemar ditemukan mati. “Nelayan dan masyarakat pesisir yang seharusnya melaut dan menangkap ikan setiap hari, kini harus menghentikan aktifitasnya karena harus menangkap limbah di lautnya,” kata Susan, dalam keterangannya, dikutip Ahad (28/7).

Sesuai laporan lapangan yang dikumpulkan Kiara, masyarakat pesisir terdampak tumpahan minyak yaitu di Desa Camara, Kecamatan Cibuaya; Desa Sungai Buntu, Kecamatan Pedes; Desa Petok Mati, Kecamatan Cilebar; Desa Sedari, Kecamatan Pusaka Jaya; Pantai Pakis, Kecamatan Batu Jaya; Desa Cimalaya dan Pasir Putih, Kecamatan Cikalong; Desa Ciparage, Kecamatan Tempuran serta Desa Tambak Sumur, Kecamatan Tirtajaya.

“Setiap hari nelayan turun ke laut dan mengumpulkan 50 sampai 60 karung limbah tumpahan minyak di laut. Limbah yang dikumpulkan nelayan akan diberikan ke Badan Pengawas setiap sore dan nelayan akan menerima upah tanpa mengetahui risiko berbahaya dari limbah yang tumpah ke laut,” kata Susan menyesalkan.

Lebih lanjut, kata Susan, masyarakat pesisir  diminta Pertamina untuk turun memungut tumpahan limbah di pesisir yang harus dikumpulkan di karung dengan dapat menampung 5 sampai 10 kilogram limbah. Untuk hal ini masyarakat pesisir akan diberi upah sebesar Rp 100 ribu.  

“Kiara melihat ini sebagai tindakan kejahatan lingkungan yang mengerikan. Nelayan diminta turun mengambil limbah tanpa memikirkan bagaimana limbah B3 yang tumpah ke laut itu adalah material yang berbahaya. Ini melecehkan nelayan,” tegasnya.  

Susan melanjutkan, tak hanya mencemari kawasan lautan, masalah tumpahan minyak turut berdampak pada kesehatan nelayan dan masyarakat pesisir yang harus ikut membersihkan limbah. Bau menyengat limbah minyak dan gas menjadi makanan sehari-hari bagi masyarakat pesisir kawasan pantai Karawang dan Muara Gembong selama beberapa hari terakhir.

“Harusnya ada standar penanganan yang tepat harus dilakukan Pertamina untuk menangani limbah B3 ini. Dan, bukannya menempatkan nelayan dalam situasi rentan pada kesehatannya.”

Masyarakat pesisir kini mulai merasakan dampak bahaya pada kesehatan mereka. Banyak masyarakat pesisir yang mengeluhkan tangannya panas ataupun gejala pusing dan mual yang mulai dirasakan.

Dari kejadian ini, nelayan dan masyarakat pesisir kembali menjadi korban dari aktivitas ekstraktif yang dilakukan pemerintah maupun perusahaan. Butuh waktu yang cukup lama untuk dapat mengembalikan lautan yang tercemar tersebut.

Untuk waktu yang lama tersebut, nelayan dan masyarakat pesisir sekitar harus rela kehilangan sumber utama penghidupannya dan berhadapan dengan limbah B3. “Pertamina harus bertanggung jawab bukan hanya merestorasi kembali pesisir dan laut yang rusak, tapi juga harus memastikan nelayan dan masyarakat bahari bisa kembali laut," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement