Jumat 26 Jul 2019 12:46 WIB

Tim Kajian Pempek Warisan Dunia Kritisi Pajak Pempek

Pajak pempek dinilai bisa ganggu pemilihan pempek sebagai warisan sejarah tak benda.

Beragam pempek khas Palembang.
Foto: Antara
Beragam pempek khas Palembang.

REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG -- Tim kajian pengajuan pempek sebagai warisan dunia tak benda UNESCO meminta Pemerintah Kota Palembang segera meredam isu pajak pempek. Isu itu dikhawatirkan akan mengganggu proses pemilihan.

Anggota tim kajian (ad hoc) pempek untuk warisan dunia tak benda, Vebri al-lintani, mengatakan bahwa informasi yang simpang siur mengenai pajak pempek membuat gejolak negatif di masyarakat.

Baca Juga

"Jika melihat reaksi masyarakat akhir-akhir ini sebenarnya cukup mengganggu perjuangan tim dalam memantapkan pempek sebagai warisan budaya tak benda ke UNESCO. Lebih baik biarkanlah dulu UMKM pempek itu, sebab pempek belum mencapai puncak perkembangannya," ujar Vebri al-lintani kepada Antara, Jumat (26/7).

Menurut dia, informasi pajak pempek muncul di saat yang kurang tepat. Sebab, pempek baru saja mendapatkan predikat kuliner kota kreatif dari Bekraf pada akhir Juni 2019. Namun, satu pekan berselang, isu pajak pempek muncul ke publik yang ternyata sudah ada peraturan daerahnya sejak 2018.

Sedangkan pada Agustus 2019 tim adhoc yang berjumlah 10 orang akan mengirimkan hasil kajian mengenai pempek dari berbagai aspek ke UNESCO. Pempek akan bersaing dengan 24 usulan warisan tak benda lainnya.

Sebelumnya, pempek telah ditetapkan sebagai warisan budaya nasional pada 2014. Hal itu memicu pempek makin berkembang, terutama saat Asian Games 2018 dengan angka pengiriman luar kota mencapai tujuh ton per hari.

"Jika pempek ditetapkan sebagai warisan dunia tak benda, maka dampaknya akan luar biasa sekali. Karena itulah pemkot seharusnya bergembira dan mendukung dengan regulasi bisnis yang memudahkan UMKM agar perkembangannya sesuai harapan," jelas Vebri.

Menurut dia, ada ribuan pedagang pempek mulai skala kecil hingga industri di Kota Palembang. Berkat pedagang tersebut pempek semakin mengakar dalam kehidupan sosial di Palembang, sehingga Pemkot setempat perlu meninjau ulang aturan pajak pempek.

"Jika 10 persen rasanya terlalu besar. Turunkan lagi menjadi dua atau tiga persen saja, mungkin pedagang sanggup membayarnya," kata Vebri.

Berdasarkan kajian tim, pempek sudah ada sejak masa Kerajaan Sriwijaya dengan nama klesaan. Pada awal abad 19 muncul seorang penjual klesaan keturunan Tionghoa yang sering dipanggil dengan sebutan apek-apek, sampai akhirnya lahirlah istilah pempek. "Kajian sejarah ini masih terus disempurnakan dengan menguatkan bukti sejarah lainnya," ujar Vebri.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement