REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Tim Pansus DPRD Kota Depok dianggap terlambat membahas Rencana Peraturan Daerah (Raperda) Anti kaum Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Untuk itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Depok berencana mengusulkan kembali Raperda Anti LGBT itu ke DPRD Kota Depok pada APDB Perubahan 2020.
"Saat ini sudah terlambat membahas Raperda Anti LGBT. Rencananya kami akan mengusulkan kembali Raperda itu ke DPRD Kota Depok pada anggaran APDB Perubahan di 2020," ujar Wali Kota Depok, Mohammad Idris di Balai Kota Depok, Selasa (23/7).
Dia menambahkan, untuk menentukan urgensi dari Raperda Anti LGBT itu harus melalui kajian akademis yang menyeluruh. Saat ini kajian LGBT belum lengkap untuk diajukan. "Kami pelajari dulu. Tergantung kajiannya penting tidak kami lihat nanti," terangnya.
Wakil Wali Kota Depok, Pradi Supriatna menegaskan, saat ini Pemkot Depok telah memiliki dua Perda untuk mengantisipasi penyebaran masalah penyimpangan sosial LGBT yakni Perda No 15 Tahun 2013 tentang Peningkatan Ketahanan Keluarga dan Perda No 9 Tahun 2017 tentang Kota Layak Anak.
"LGBT sudah kami antisipasi, minimal mencegah untuk tidak berkembang. Kami sebenarnya sudah mengantisipasinya dan sudah cukup lama Pemkot Depok memiliki perda yakni Perda No 15 Tahun 2013 tentang Peningkatan Ketahanan Keluarga dan Perda No 9 Tahun 2017 tentang Kota Layak Anak," jelas Pradi.
Dia mengutarakan, kedua Perda tersebut setidaknya dapat mengantisipasi sejak awal yakni di titik pengaruh kehidupan di lingkungan rumah tangga dan lingkungan terdekat di RT dan RW serta kelurahan dan kecamatan.
"Nah, kami terus menerus menebarkan konsep ketahanan keluarga dan ramah anak ke masyarakat. Ketahanan keluarga salah satu cara menjaga anak-anak dan remaja dari prilaku menyimpan serta juga mencegah konflik dalam rumah tangga. Kami juga akan menciptakan lingkungan yang ramah anak," punkas Pradi.
Persaudaraan Waria Kota Depok (Perwade) menolak Raperda Anti LGBT. "Raperda itu merugikan dan mengucilkan kaum LGBT," kata Ketua Perwade Kota Depok, M Indra.
Dia mengatakan selama proses penyusunan Raperda tersebut kalangan waria yang saat ini berjumlah sekitar 50 orang tidak pernah diajak dalam perumusan Raperda LGBT.
"Kami dari kalangan waria nggak pernah diajak oleh penyusunan Raperda tersebut. Daripada membuat Perda yang diskriminatif, kami mengusulkan agar menggantinya dengan Raperda HIV/AIDS. Penyebaran HIV/AIDS itu real dan tidak terfokus pada populasi kunci saja. Tetapi setiap manusia yang melakukan hubungan seks beresiko tertular," tuturnya.
Menurut Indra, Raperda HIV/Aids dapat mengedukasi masyarakat tentang HIV/Aids dan melakukan sosialisasi secara masif kepada masyarakat, khususnya para lelaki hidung belang agar selalu menggunakan pengaman untuk mencegah penularan atau tertular.
"Raperda HIV/AIDS dapat bersinergi dengan Kementerian Kesehatan dan Global Fund sebagai tanggung jawab bersama dalam menekan penyebaran HIV/Aids di Indonesia," terangnya.