Pada suatu hari Ahad, ketika akan menghadiri rapat Partai Masyumi, Roem terkejut. Celana yang di dalamya terdapat "jimat khusus", tidak ada di tempatnya.
Tergopoh-gopoh dia pergi menemui Markisa Dahlia (Dal) istrinya yang sedang di dapur, menanyakan keberadaan celananya.
"Sudah dicuci. Sekarang ada di temput jemuran," ujar Dal.
"Mengapa dicuci? Kan masih bersih," Roem memerotes.
"Kalau tidak mau dicuci, jangan ditaruh di lantai," sergah Dal.
"Itu terjatuh," kata Roem sembari bergegas ke tempat jemuran. Roem lalu memasukkan tangannya ke saku celana yang masih basah. Jimat khusus itu sudah hancur menjadi bubur.
Dal yang memerhatikan kelakuan suaminya, bertanya: "Kertas sudah hancur mengapa masih disimpan di celana?"
"Ini robekan dokumen sangat rahasia," jawab Roem.
Sampai saat itu, Roem belum terpikir bagaimana menyelesaikan "jimat khusus" itu. Entah berapa lama Roem dapat memelihara "keadaan tidak terpisah" dengan jimat itu, padahal keadaan itu tidak sesuai dengan pandangan hidupnya.
Kini Roem merasa lega karena penyelesaiannya, meskipun tidak terduga-duga, akhirnya datang dalam tempo yang singkat. Roem juga senang karena penyelesaian urusan jimat itu tanpa maksud tidak baik, atau kurang menghormati Presidan Sukarno dan Panglima Besar Sudirman.
"Katakanlah itu sudah takdir Tuhan," tulis Roem.
Perundingan pelaksanaan Perjanjian Renville sendiri tidak pernah selesai, sebab di tengah perundingan Belanda melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948.
Kesalahan perhitungan Belanda dengan agresinya itu, menyebabkan posisi Indonesia menguat dan berujung pada penyerahan kedaulatan Negara Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949.
Inipun takdir Tuhan juga.