Selasa 23 Jul 2019 05:01 WIB

Sukarno, Sudirman, Roem: Negara Jimat dan Dukun

Soal jimat ternyata akrab dalam perjuangan kemerdekaan

Moh Roem dan Isteri (Markisa Dahlia)
Foto:
Moh Roem dan Isteri (Markisa Dahlia)

Begitu melihat Roem, Presiden Sukarno segera bicara. Antara lain dikatakan bahwa perundingan kelihatannya berjalan seret. Dalam penilaian Bung Karno, Belanda tidak ingin mencapai kesepakatan kecuali Indonesia bertekuk lutut.

Roem menyimak perkataan Bung Karno, sambil menunggu kebiasaan Presiden mempersilakan menikmati penganan yang tersedia di meja.

"Karena itu saya pandang Saudara harus diperkuat jiwanya," ujar Presiden.

Terkejut mendengar ucapan Bung Karno yang terakhir itu, Roem membatalkan niatnya untuk mengambil lemper. Dia merasa, Bung Karno sedang memasuki dunia lain yang Roem sendiri tidak kenal tetapi dapat meraba.

"Presiden, yang berunding tidak hanya saya. Ada anggota dan penasihat delegasi yang semuanya aktif," Roem merespon.

"Ya. Itu benar. Tetapi Saudara adalah Ketua Delegasi. Jika jiwa Saudara 'diperkuat', itu akan meliputi seluruh delegasi," tukas Presiden.

"Apakah hal itu akan dilakukan sendiri oleh Presiden?", Roem memberanikan diri bertanya.

"Tidak," jawab Presiden, "sekarang juga Saudara saya persilakan ke rumah Panglima Besar Sudirman yang sudah menunggu."

Tangan Roem kala itu hendak kembali nyelonong untuk mengambil lemper, namun kali ini rupanya situasi serba mendesak.

Dengan sabar tetapi tegas, Presiden berkata: "Masih banyak kesempatan untuk sarapan bersama Presiden. Sekarang makanlah lemper itu, dan segera temui Panglima Besar. Beliau sudah menunggu.

"Pahamlah Roem sekarang, urusannya pagi ini telah dirancang oleh Presiden dan Panglima Besar.

Jimat Khusus

Tiba di rumah Panglima Besar Sudirman, Roem mendapati Panglima sedang duduk bersama seorang pemuda. Sesudah berbasa-basi sejenak, Panglima Besar mengatakan bahwa sebagai Ketua Delegasi Roem menghadapi pekerjaan berat, dan karena itu jiwanya harus diperkuat.

"Kawan kita ini sudah menyediakan jimat khusus untuk Ketua Delegasi. Kalau  Saudara Roem senantiasa bawa atau pakai dalam perundingan menghadapi Belanda, Saudara akan bertambah kekuatan, dan insya Allah tidak akan kalah," ujar Sudirman.

Mendengar ucapan itu, Roem teringat peristiwa beberapa puluh tahun yang lalu. Ketika itu Roem sakit agak parah. Sesudah sembuh, neneknya mengharuskan Roem memakai kalung berisi jimat yang menurut sang nenek dapat menangkal penyakit.

Saat itu, Roem kecil hendak menolak kemauan nenek, tetapi ayah Roem memberi isyarat agar anaknya itu jangan menolak kemauan sang nenek.

Jauh dari nenek, ayah Roem  memberi tahu Roem bahwa di balik perintah nenek ada cinta dan kecemasan yang sangat besar kepada sang cucu.

"Hormati keinginan nenek. Di rumah, atau mau ke sekolah, pakailah kalung  jimat itu, sesudah agak jauh dari rumah dan tidak dilihat nenek, kamu boleh lepas dan kantongi jimat itu," tutur  ayah panjang lebar.

Kelak, ayah Roem pula yang mengusulkan kepada nenek agar Roem tidak usah lagi memakai kalung jimat, karena sang cucu sudah sembuh.

Sambil tersenyum, disaksikan Panglima Besar, Roem menerima penyerahan jimat dari dukun muda kawan Panglima.

Satu soal selesai, tapi bagaimana melaksanakan pesan Panglima Besar agar "tidak terpisah dari jimat khusus itu" sementara Roem sendiri menganggapnya gugon tuhon?

Dulu ada ayahanda yang memberi jalan keluar. Sekarang? Lagi pula, dulu "cuma" perintah nenek. Sekarang, keberadaan jimat khusus itu diatur langsung oleh Presiden dan Panglima Besar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement