Selasa 23 Jul 2019 05:01 WIB

Sukarno, Sudirman, Roem: Negara Jimat dan Dukun

Soal jimat ternyata akrab dalam perjuangan kemerdekaan

Moh Roem dan Isteri (Markisa Dahlia)
Foto: Gahetna.nl
Moh Roem dan Isteri (Markisa Dahlia)

Oleh: Lukman Hakiem, Peminat Sejarah, Mantan Staf Ahli Wapres Hamzah Haz, Staf Moh Natsir, dan Mantan Anggota DPR

Hampir di setiap perhelatan politik, selalu muncul cerita perdukunan. Seorang dukun, di masa pemilihan umum yang lalu, bahkan dengan gagah berani memasang iklan menawarkan jasa spiritual bagi mereka yang berhajat menjadi anggota parlemen atau menjadi pejabat negara.

Apakah ada yang berminat memanfaatkan jasa "orang pintar" itu? Wallahu 'alam.  Yang pasti, kalau sang dukun bisa mendudukkan orang jadi pejabat, mengapa tidak dia manfaatkan "kepintarannya" itu untuk dirinya dulu.

Gugon Tuhon

Dalam suatu percakapan,  Ketua Umum Partai Masyumi saat membubarkan diri, Prawoto Mangkusasmito (1910-1970), bertanya kepada Mr. Mohamad Roem (1908-1983): "Di mana jimat itu sekarang?"

Roem yang tidak mengerti ujung pangkal pertanyaan itu, balik bertanya: "Jimat apa?"

"Jimat diplomat," jawab Prawoto yakin sambil mengelus janggutnya yang mulai memutih.

Roem yang mantan menteri dalam negeri dan menteri luar negeri itu makin bingung. Dengan nada lebih bersungguh-sungguh, Roem berkata: "Saudara Prawoto, Anda tahu, saya tidak percaya jimat."

Roem yang dilahirkan di desa Klewogan, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, menyebut hal-hal berbau mistik --seperti jimat pengusir penyakit-- sebagai gugon tuhon (takhayul).

Mendapat sanggahan serius dari Roem, Prawoto malah tertawa. "Itu ternyata tidak benar. Saudara pernah menerima jimat. Saksi kejadian itu Panglima Besar  Jenderal Sudirman atas perintah Presiden Sukarno.

"Roem terkejut bukan alang kepalang. Dua nama besar disebut sekaligus oleh Prawoto.

Kesederhanaan yang Mengharukan

Betapapun banyak kalangan tidak menyetujui Perjanjian Renville, dan Perdana Menteri Mr. Amir Sjarifuddin jatuh akibat menandatangani perjanjian tersebut, pemerintah Indonesia dan Belanda tetap terikat kepada Perjanjian Renville.

Untuk itulah diadakan perundingan lanjutan guna melaksanakan Perjanjian Renville. Dalam perundingan itu, Roem ditunjuk menjadi Ketua Delegasi RI.

Perundingan sudah berlangsung berbulan-bulan, berpindah-pindah tempat di Jakarta atau di Yogyakarta. Roem merasakan, jalannya perundingan tidak lancar.

Suatu pagi di tahun 1948 Roem tiba di kantor Delegasi RI di Yogyakarta. Baru saja duduk untuk membaca resume perundingan, telepon berdering. Ternyata telepon berasal dari Sekretaris Negara. Isinya singkat: Presiden meminta Roem seorang diri datang ke Istana Kepresidenan sekarang juga.

Oleh karena menurut protokol nasional maupun internasional, perintah Presiden adalah komando yang tidak boleh ditolak, Roem bergegas ke Istana.

Seperti ditulis Roem di koran Abadi, dan majalah Intisari pada akhir 1970, di masa revolusi kemerdekaan, panggilan dari Presiden atau Wakil Presiden bukan hanya perintah tetapi sekaligus juga kebahagiaan.

Bung Karno dan Bung Hatta  dikenal sebagai pemimpin yang ramah. Bung Karno juga sering mengajak tetamunya sarapan di Istana. Roem tidak diterima di ruang tamu.

Maka adanya telepon dari Istana itu, menjadi pertanda yang akan dibicarakan tentu masalah yang sangat penting atau sangat rahasia.

Roem diminta Presiden untuk masuk ke kamar, dan mendapati Bung Karno belum berpakaian dinas. Di meja kelihatan lemper, kroket, dan pisang goreng, sisa jamuan malam.

"Kesederhanaan kepresidenan waktu itu masih mengharukan," kenang Roem.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement